'KOWE KI CAH WEDOK OPO! YEN WIS ORA ISOH MANUT TUNTUNAN, ORA USAH MULIH!'
Pekik itu melantang. Seakan menantang senyap yang menggumuli separuh malam. Bak dentuman mesin perata tanah saat gedung pencakar langit mulai didirikan. Pekik itu sangat beringas, mendekati liar dan tak pernah kukenal. Pekik itu menghujam tajam ke palung hati terdalam. Merajam hingga sekujur tubuh dan jiwaku terkoyak terserak berantakan.
Aku merunduk serasa sangat hitam dan terpuruk. Diam. Kehilangan detak penanda nyawa. Sebutir luh yang menitis sempat kutepis. Tak ayal, ribuan titis lainnya jatuh berurai bagai bah Situ Gintung. Tak terhitung. Tak terbendung.
Wajah ini memerah, bukan lagi kerana tersapu perona wajah, ataupun tersipu kerana cinta yang indah.
Aku sungguh telah berdiri tergambar mati, oleh kalimat semacam pekik oleh pria tegap yang selama ini kusebut Bapak. Dalam sekejap kata- katanya melumpuhkan rasa bangga dan percaya dalam diri ini.
Sekejap aku terjerembab oleh sebait amarah Bapak. Aku merasa sangat buruk rupa, meski make up tebal masih menghiasi muka. Gincu masih memerah menegaskan garis bibir memanja. Seketika kalimatnya menamparku hingga tersadar. Aku bukan lagi jelmaan peri cantik yang disanjungnya sepanjang waktu. Aku dianggapnya bagian dari wanita jalang yang berjajar dibawah temaram lampu di gang-gang sempit sekeliling kompleks Kantor Radio Republik Indonesia wilayah Surakarta.
Malam itu, aku bahkan belum sempat menceritakan seharian panjang yang kujalani. Tentang kisah- kisah dibalik keriuhan tempat belanja warga kota menuju metropolis, yang megah berdiri mengungguli bangunan Bank Negara Indonesia cabang Slamet Riyadi. Tentang ramah tamah kawan seperjuangan, yang sebenarnya mereka sedang saling bersaing menawarkan brand produknya masing-masing. Tapi, mereka tak pernah mencerca satu dengan yang lain. Murah mengobral senyum. Paras cantik nan rupawan, tubuh tinggi, sintal, merujuk kepada semok, seksi dan montok, duplikasi selir Raja Kelantan yang kabur ke bumi pertiwi. Berbalut sayak berwarna elok, yang dibuat minim, ketat menjerat urat- urat sekitar pantat.
Hari itu adalah hari pertama, aku termasuk salah satu dari sepuluh gadis- gadis yang berdiri bagai dekorasi di sebuah pameran yang digelar di tempat belanja terbesar di Kota Batik ini. Berbalut busana yang hampir sama, tapi kupilih yang paling longgar diantara yang lainnya. Maklum, tak terbiasa. Sudah longgar saja, masih sering kutangkap basah beberapa pasang mata adam memandangku dengan pintasan nafsu dikepala.
Aku dan sembilan kawan lainnya berdiri, terkadang berjalan meliuk- liuk bak Miss Indonesia, menjaga senyum atas bibir merah agar tetap terkembang segar merekah. Pemandangan cantik, memesona pengunjung dengan kualitas iman sangat rendah. Kami bersepuluh seakan menjadi center poin. Melancarkan aksi promosi kepada para pengunjung pusat belanja yang semakin malam semakin tumpah ruah di arena exhibition. Ya, aku dan mereka adalah Sales Promotion Girl. Front liner perusahaan. Job description kami adalah menawarkan produk, meningkatkan angka penjualan produk perusahaan. Kami didandani seperti ini, agar semakin percaya diri, agar para pengunjung tidak hanya mendekati, tapi juga membeli. Kami tidak diharuskan berlagak genit, tapi beberapa diantara kami melakukannya. Sehingga beberapa pelanggan tak hanya tertarik membeli produk kami, tapi juga ‘membeli’ sebagian dari kami. Ah, itu sudah biasa… seandainya malam itu aku memutuskan untuk berpakaian lebih ketat, apa jadinya?
Aku tak mau sok suci, lantaran aku juga manusia biasa, yang sama seperti mereka. Toh, aku juga dibayar karena kerja tim yang tentu saja melibatkan pesona serta rayuan mereka. Hanya saja, untungnya aku masih menggenggam prinsip virginitas yang menjadi simbol sakral seorang wanita.
Malam itu, perhelatan pameran akbar berakhir pukul 10 malam. Setelah briefing post exhibition, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Selembar ratusan ribu dan selembar lagi lima puluh ribu rupiah berhasil kuselipkan di dompet. Dalam benak tersungging senyum penuh suka cita. Ini honor pertama yang kuterima atas profesi baruku, sangat kontras bila dibandingkan dengan gaji pekerjaanku sebelumnya. Dulu, sebulan penuh menjagai warnet hanya memperoleh tiga lembaran ratusan ribu, itu saja masih dipotong biaya denda sebesar lima puluh ribu kerana tak sampai target harian. Pahit? Ah gak juga… jaga warnet juga pekerjaan halal, meski gajinya setipis bulu mata, tapi setiap hari free akses internet, setiap detik bisa tengok jendela dunia.
Malam itu, sepanjang jalan pulang, angin malam dingin menyapa menusuk tulang. Menyapu kulit wajah yang masih terdapat sisa riasan. Berusaha melaju kencang dengan sepeda motor empat tak, menyibak pekat gelapnya malam.
Aku menghentikan motor ketika sampai di istanaku yang mewah dipinggir sawah. Jarum panjang sudah menunjuk angka 11. Aku pulang dengan kaki setengah pincang kerana baru kali pertama berdiri berjam- jam dengan hanya sejam waktu rehat. Tapi apa yang kudapatkan malam itu? Sebait amarah dalam pekik lantang seorang pria garang di depan gerbang. Raut muka suram menambah kelamnya malam. Itu Bapakku. Beliau pria yang selalu mengkhawatirkanku. Pria yang tiba- tiba menjadi muram kerana putrinya pulang melanggar aturan jam malam. Pria yang berteriak kencang, bila putrinya sudah berperilaku lancang. Pria yang ketakutan putrinya berubah bebal serta binal. Pria yang ketat menanamkan tuntunan Islami dan tatanan Kejawen. Dan sekeras apapun beliau menggertakku dengan pekiknya malam itu, aku akan selalu menyayanginya.
Kisah Pribadi
Oleh : Ikha Oktavianti
22/06/2010
0 comments:
Post a Comment