16.4.12

Pijakan Pertama di Tanah Banua

November 2011


source : click !

BAHAGIA adalah satu perasaan yang turut dihati saya tatkala turun dari burung besi yang membawa saya terbang dari Jawa ke Tanah Banua untuk kali pertama. Kala itu sudah petang, sekitar pukul 7 WITA, saya dijemput oleh suami di Bandara Syamsudin Noor, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Bagaimana tidak bahagia, sebelumnya saya harus puasa tak bersua dengan suami sekitar 2 bulan ( 10 September - 15 November 2012) karena si dia harus melengkapi tugas kesamaptaan di Kopassus Batujajar, Bogor demi proses pengangkatan kepegawaian di Perusahaan yang baru. 

Tak bersua sekian lama serta sempat beberapa minggu terputus komunikasi bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi di usia pernikahan kami yang masih anyar. Sedikit hiperbolis, tapi faktanya memang saya sendiri tak bisa 100% fokus menjalani hari. Ibarat kata, jiwa saya sedang kehilangan separuh spiritnya. Dilanda rindu yang obatnya hanyalah doa khusuk pada 'Illahi Robbi..

Kembali bersua dengan suami menjadi satu hal yang sangat dinanti, bahkan sejak detik pertama kami harus saling bertolak guna menyelesaikan tugas masing-masing. Namun, syukur alhamdulillahirobbi.. finally, hari itu datang dan kami kembali dipertemukan dalam keadaan sehat wal afiat. Ada senyum kikuk yang sempat menghias bibir, ada air mata yang menyudut di kelopak mata, ada lantunan hamdallah yang spontan saja terucap dari mulut... 

Di bandara yang terbilang besar itu, di tengah hiruk pikuk para penumpang dan penjemput, saya mencoba fokus untuk satu suara yang memanggil- manggil saya dengan penggilan khasnya: 

"Ling..ling..ling...", yang merupakan kependekan dari 'darling'

Seorang pria bertubuh gempal, berkulit hitam legam melambaikan tangannya ke arah saya. Seraut wajah yang awalnya saya sedikit sulit mengenali karena phisically telah berubah lumayan drastis, tambah gendut, tambah hitam. Untuk lebih meyakinkan saya, pria itu mendekat sehingga jelas bagi kedua mata saya untuk mengenalinya, serta mudah bagi kedua tangan ini untuk menyambut hangat peluknya. Dialah orangnya, suami yang  saya susul keberadaannya di Borneo.

Usai sebuah pelukan yang mencairkan perasaan kikuk karena lama tak berjumpa, akhirnya kami langsung tancap gas meninggalkan pelataran parkir bandara. Kami melaju menuju salah satu kota kecamatan di Kalimantan Selatan, yaitu Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut. Perjalanan dari bandara Syamsudin Noor ke tempat yang kami tuju memakan waktu lebih kurang satu jam dengan jalanan yang sepenuhnya dibangun dengan asphalt. 

Suami saya menghentikan laju kendaraan ketika kami sudah memasuki gang kecil menuju depan deretan bidakan berwarna orange. Di daerah Pelaihari, bidakan merupakan sebutan untuk sebuah rumah petak berukuran kecil, biasanya dikontrakkan dengan biaya sewa per bulan. Ada tiga bidakan yang berjejer di depan saya, kemudian suami menunjukkan bidakan yang kami sewa, yaitu bidakan yang paling barat (?). Maklum, sesampainya di tempat baru, saya mendadak buta arah mata angin.    

Gulita hampir menenggelamkan seluruh sumber cahaya di angkasa, tapi malam itu purnama setia menemani kami dan membagi sisa romansa melalui secercah sinarnya. Setelah meletakkan koper dan barang- barang bawaan, kami keluar dari bidakan untuk mencari makan di sebuah warung tenda yang menyediakan masakan sederhana. Sambil menunggu pesanan dimatangkan, kami berdua tenggelam dalam obrolan ringan, berbagi kisah dan kasih serta pengharapan atas dimulainya sebuah perjuangan di tanah seberang...

Inilah episode pertama saya di tanah rantau, pijakan pertama dalam duet pengembaraan ini. Banyak kisah yang kemudian mengalir dan terbingkai indah selama tinggal di Pelaihari. Insyaallah ceritanya akan dilanjutkan lagi..