31.5.10

kita



07/10/08
stanza sebelum hari H

30.5.10

my future dream :)


My Future Dream (Part 1)

Siang itu, dua jagoan kecilku berlarian ke arahmu. Dia yang sulung sudah hampir lima tahun dan si bungsu kecil masih tertatih dalam genggam tanganku. Tawa mereka sungguh indah, meramaikan suasana istana kita yang teduh dan megah. Sementara kau berdiri di ambang pintu, masih rapi dengan kemeja kerja berwarna putih, membalas senyum mereka dengan senyummu yang selalu special dimataku. Tak seperti dulu ketika kau pulang dari kantor, aku masih bisa sekedar mengendurkan ikatan dasimu seketika setelah kau mengecup keningku, kini aku sibuk memegangi si bungsu yang meronta- ronta ingin segera menyusul kakaknya yang lebih dulu berhasil mendekapmu.
Seperti yang kubayangkan sejak dulu, rambut si sulung ikal seperti rambutmu, tapi matanya lebar seperti mataku. Kulitnya kuning seperti kulitku, dan … oke, giginya rapi seperti gigimu. Kuharap dia tidak keras kepala seperti kamu ya. Sedangkan si bungsu kecil terpaut tiga setengah tahun dari kakaknya. Aku belum akan mendeskripsikannya untukmu. Bayangkan bila kakaknya secakep itu, kau bisa membayangkan bila adiknya setingkat lebih cakep dari kakaknya kan? Itu teori genetika yang sudah terjadi pada keluarga kita berdua, untungnya hal itu tak terjadi pada anak kita, dengan demikian kesimpulannya; dua jagoan kecilku sama cakepnya.
Meskipun usiamu sudah kepala tiga, tapi kau masih muda bagiku. Kau sosok yang tidak pernah berubah dimataku. Kau adalah pemimpin di kerajaan yang kita bangun sedari dulu. Dan dua jagoan kecil kita itu adalah laskar pengikutmu. Aku suka melihatmu menggendong si sulung menuju kamarnya ketika ia terlelap di depan wide screen setelah menonton film edukatif kesukaannya, sementara aku menimang si kecil, meninabobokan ia yang baru bisa mengeja kata- kata sederhana. Ketika si sulung sudah nyaman dengan selimut tebal di kamarnya, dan si bungsu sudah terlelap di ranjangnya, kau menghampiriku dengan senyum menggodamu. Dan setelah bagian ini, kau yang akan sibuk ‘meninabobokanku', ya, sepertinya insomnia ini masih gemar menemaniku terjaga setiap malam menjelang.
Seperti yang kau harapkan, kini aku bekerja mengabdikan diri kepada negara, sehingga aku mempunyai waktu yang cukup untuk mengurus keluarga, menaatimu, dan mendidik si kecil tentunya. Di samping itu, seperti rencana kita sejak awal, kini kita sudah mempunyai bisnis keluarga yang benar- benar kita rintis mulai dari benih. Lihatlah, setelah berjalan hampir enam tahun, bisnis kita cepat sekali mendapatkan pasarnya. Dan akhir tahun ini kita sudah merencanakan membuka cabang di kota yang lain.    
                  

29.5.10

my day my day // 8/10/08

8 Oktober 2008

Pagi begitu cerah menyambutku, menyibak pesona hari Rabu, hari istimewa yang slalu kutunggu. Yahh! Hari ini adalah hari ulang tahunku. Beberapa jam yang lalu, jatah hidupku berkurang satu. Hehe. Tak terasa sudah tambah tua nih, kepala dua! Aku memulai hariku dengan berdoa, semoga hari ini kudapat extra bahagia. Amin! Setelah itu kubuka ponselku tersayang, tak pernah kubayangkan, aku akan mendapat ucapan ulang tahun sebanyak ini, sekitar tiga puluh lima sms dan beberapa missed call (Ponsel semalem sengaja aku silent). Bahagia bahagia dan bahagia.... Hingga jadwal ulangan Sosiolinguistic n History of British Language terlupa begitu saja. Hahaha! Nice beginning I think..

Pukul 06.30, siap dengan segala bekal hafalan semalam suntuk sampe buku catatan jadi bantal tidur, finnaly, I am ready to goin on with ma lovly blue supraaaa AD4530FT. Berlari kencang di jalanan Purwosari - Slamet Riyadi – Gladag – Pasar Gede – Jagalan – Sekarpace dan UNS yang extra extra extra macet akhir-akhir ini, biasalah arus mudik, aaaaaaaaaaaarrrrrrrrgghh..
 
. Soloku sayang dipadati mobil plat asing, L – B – AB – F – W - B – H – BH.
Dipersingkat, hingga kedua test dari dosen tersayang Bp. Drs Marmanto itupun usai ( Ikha Oktavianti, NIM C0306034, semester ini kasih IP 4 lagi ya bapakkk! Hehehe ). Dan sudah kusangka sebelumnya... jeng jeng jeng... sebuah tart mungil berwarna pink berada dihadapanku. Hehe. Siapa lagi kalo bukan anak SunSet! Hug buat kalyan yaaa... I love u all, galz! Meski SunSet tak se eksis dulu kala, tak se indah dulu kala, but i think its okay! Sekarang sudah pada dewasa, pada tau mana yang bersifat pribadi dan bersama yaahhh. Piss!! Seperti tagline kita dulu... Surya tenggelam...(pinjem irama lagu Alm Crisye) . Dan waktu potong kue n tiup lilin segera dimulai... disaksikan oleh semua pasang mata para penghuni sastra Inggris 2006 yang berada di ruang 307 gedung I FSSR UNS, tepat pukul 11.00, I made a wish, thats so simple, ” God, semoga hari ini, aku gak salah membuat keputusan! Semoga hatiku semakin mantap dan selanjutnya hariku bahagia... berusaha mendapat IP yang tinggi dan cepet lulus. Amiiiin ya robbal’alamin”. Api di ujung angka dua dan nol itupun padam oleh tiupanku. Tak bisa dihindari pasukan penyantap segera melahap tart mungil itu. Dan adegan di kampus siang ini adalah bahagia yang kedua yang kudapat hari ini, meski berakhir dengan lumuran pasta dimana mana, di wajah, di jilbab, di baju, sungguh kalyan sahabatku... kalyan pewarna di setiap hari-hariku. Aku sayang kalian! Hug all!


tart dari anak-anak SUNSET




Kebahagiaanku ternyata tak berhenti sampai disitu, sesampai di istanaku yang apa adanya, aku segera mandi. Air di bak mandi siang ini jadi amat sangat bersahabat, menyegarkan tubuhku yang hampir layu. Halaaaah. Tiba – tiba pintu depan di ketok – ketok! Dan angin siang itu membawa jiwa dan raganya dihadapku. Piss men!! Hehe. Sosok penggila Transformer itu kemudian membawaku pergi. Kita berdua menyusur Solo, dimulai dari Solo Square, hingga Coyudan yang pasti dengan si belalang tempur hitam itu. Hehe. Secepat kilat menerjang terjang tanpa perlindungan jaket, panas udara di Solo seketika seperti udara dari Air Conditioner LG (yang ini bohong, haha!). Dan kita terus melaju hingga menemukan oOm badut lagi duduk di kursi depan, rambutnya merah dan bajunya tak pernah ganti, masih tetep kuning. Permisi oOm, numpang maem Big Mac yaaa... 


Ini adalah momen-moment bahagia yang ketiga sekaligus kado termahal di hari ulangtahunku. Ketika itu semua dimulai, maka duduklah kami berdua di ujung ruangan Mc. D, berhadapan dan bertatapan, ceileeeeyyy... di hadapan sudah ada 1 Big Mac, French Fried, Ice cream cone dan pepsi. Ini bukan kali pertama aku duduk dan menatap wajahnya, tapi hari ini jadi grogi sekali. Fiuuh!! Percakapan antara dua sejoli paling konyol sedunia ini pun dimulai. Cewe berkaos putih bertanya kepada cowo berkaos biru dongker di hadapannya, kenapa harus di Mc. D?? Dan cowo smart itu menjawab... sesuatu yang dimulai dari Mc. D, akan berakhir di Mc. D. Dengan gaya sok teu, si cewe culun bertanya lagi, maksudnya apaaaah??? Dan cowo smart itu menjawab lagi... kali ini dengan nada yang mulai serius...( si cewe, berusaha jadi serius juga!). Mc.D brand yang udah mendunia, dan aku akan menemukannya dimana-mana seperti aku akan selalu mengingatmu dan merindukanmu setiap kulihat Mc.D. So sweet!!!


Ternyata Mc.D banyak filosofinya buat perjalanan perkenalan kita, Maret lalu di Mc.D Jogja adalah perjalanan jauh pertama kita, dan seterusnya dan seterusnya. Mc.D dengan Big Mac dan ice cone nya akan slalu menjadi saksi history cinta kita. Dan di menit-menit terakhir, kita berdua menemukan filosofi terbesar kenapa kita memilih Mc.D, karenaaaa.... i’m lovin it – nya dan 24 hours nonstop – nya!!! So, my anibanituitioaty... are u ready to serve me 24 hours a day?? Hahahaha . Backsound = Potret – I just wanna say I love you…and When I Falling Love nya Whitney Houston. 


Ini adalah awal perahu kami berlayar, dan kami siap dengan ombak yang menerjang dihadapan. Sayang, selalu berikan aku sabuk pengaman yaaaa....=P


beberapa kali repost tapi masih SUKA ngebaca :)
ikha oktavianti

my life today

Sore ini lelaki itu menjemputku setengah jam lebih lama dari biasanya. Aku sendiri yang sengaja memintanya agar berangkat menjemput setelah hujan reda. Namun tampaknya setelah menunggu cukup lama, hujan tidak juga berhenti, akhirnya dia nekat datang menjemputku di tempat kursus. Padahal aku tahu, dia masih demam, batuk menggigil, indikasi flu dan radang tenggorokan.
Dia datang dengan Honda Megapro hitam lengkap dengan mantel yang menutupi badannya. Kepalanya praktis tertutup helm warna merah yang kuhadiahkan padanya beberapa bulan lalu. Ketika kulihat dia sudah sampai di pelataran tempat kursus, aku berlarian ke arahnya, mendekat, dan memboncengnya. Layaknya lelaki yang tanggap, tanpa komando dia menyalurkan bagian belakang mantel yang dikenakannya.

Sepanjang perjalanan pulang, rintik air hujan berlompatan di aspal jalan raya. Aku mengintipnya di balik mantel yang hanya muat menutupi sebagian badanku. Kurasakan air hujan sudah mulai menembus celana jeansku, lambat tapi pasti mulai membasahi jaket merah yang kupakai. Tanganku melingkar di pinggangnya, pinggang lelaki itu, memeluknya erat. Kami berdua saling diam, terlarut dalam kegaduhan suara mesin motor dan hujan yang semakin deras.

Agak ganjil memang, setiap hari di bulan November ini kota Solo serasa semakin panas, panas sekali, hingga meskipun hujan sesekali datang mengguyur, tetap saja tidak mengurangi suasana gerah yang menyelimuti. Kondisi cuaca yang labil seperti ini jelas berdampak signifikan terhadap kekebalan tubuh. Banyak orang dengan mudah terserang flu atau demam. Sama halnya dia, sudah kubilang beberapa kali padanya untuk menjaga kesehatan, menyuruhnya sedikit mengurangi porsi minum es, mengingat cuaca benar- benar tidak sedang bersahabat, ditambah aktifitasnya yang padat akhir- akhir ini. Aku sangat kuatir, terlebih seminggu terakhir dia rajin sekali pergi dan pulang dari kota satu ke kota lainnya, menyelesaikan semua urusan pekerjaan yang kesemuanya tidak lepas dari istilah deadline.

Lalu dengan kondisi kesehatannya yang sekarang, tidak banyak yang bisa kuperbuat untuknya kecuali mengingatkan waktunya untuk minum obat, mengingatkannya sarapan, makan siang, makan malam, beristirahat, dan tentu saja mendoakan agar dia segera sembuh.

Hujan sore ini setia menemaniku sampai depan garasi rumah. Sedikit merasa tidak peduli dengan kesehatanku sendiri, aku mengacuhkan tubuhku yang serta merta telah terbalut oleh baju basah. Aku sengaja lebih dulu menyelamatkan tas yang berisi buku- buku kuliah, karena kupikir satu tablet vitamin C akan lebih cepat merangsang peningkatan fungsi antibodi di tubuhku. Dan harga sebotol vitamin C akan jauh lebih murah daripada harga fotokopian buku kuliah.

Harga buku kuliah memang sangat mahal, itu faktanya, sekaligus merupakan alasan yang tepat bagi seorang mahasiswi dengan tingkat ekonomi pas- pasan sepertiku untuk lebih baik membolos jam kuliah ketika hari mulai gelap karena tertutup mendung. Secara eksplisit, aku takut buku kuliah akan basah jika kehujanan dan aku benci harus susah payah mengumpulkan uang lagi untuk membeli fotokopiannya.

Belakangan buku kuliah memang menjadi sangat sakral bagiku, mungkin juga bagi semua mahasiswa semester tujuh. Bahkan tidak berlebihan jika kukatakan secara terang- terangan bahwasanya aku lebih semangat untuk membaca buku kuliah daripada membaca kitab suci agamaku sendiri. Sungguh merupakan pelanggaran yang kulakukan secara sengaja dan aku harap secepatnya bisa segera sadar dari godaan duniawi ini. Fenomena ini terjadi, tidak lain dan tidak bukan karena semakin hari persaingan prestasi mahasiswa kelas linguistik semakin terlihat sangat mencolok di mataku. Kontan saja hal itu menimbulkan satu tekanan tersendiri bagiku.

Demi mencari solusi dari masalah yang satu ini, aku memutuskan untuk ikut kursus atau les tambahan setiap sore, meskipun sebenarnya tidak memberikan banyak kontribusi secara material ilmu, tapi banyak memberikan kontribusi secara spiritual. Bayangkan saja, setelah seharian sekelas dengan mahasiswa yang sangat expert membahas linguistik yang ruwet, sorenya bisa diimbangi dengan kursus tambahan yang notabene hanya memberikan materi yang lebih mirip dengan materi anak SMA, tentu saja dengan para mahasiswa yang kebanyakan baru lulus dari SMA. Rasanya sangat seimbang karena dalam jangka waktu sehari aku bisa merasakan menjadi expert dan beginner.

Meski merasa sedikit tertekan, tapi di sisi lain aku sangat menyukai berada di komunitas mahasiswa linguistik. Mereka semua mempunyai ambisi yang besar untuk segera menyelesaikan studi di Fakultas Sastra, fakultas yang terkenal dengan istilah mahasiswa abadi. Mereka mengadakan belajar kelompok untuk membahas materi dan tugas kuliah. Mereka beramai- ramai berkunjung ke perpustakaan untuk sekedar melihat- lihat judul skripsi dan mendiskusikannya bersama- sama. Kegiatan yang demikian itu jelas memberikan dampak yang sangat baik bagiku, pelan tapi pasti motivasi belajarku meningkat.

Malam hari, setelah selesai mandi dan melakukan ritual lainnya, aku segera masuk ke dunia privasiku. Seperti biasanya, aku selalu hidup di kedamaian kamarku. Kamar di lantai dua yang di desain khusus oleh ayah dan dibangun tepat di bagian atas garasi rumah.
Aku bersiap menyalakan laptop sembari menyeruput wedang jahe hangat yang kubuat sendiri. Kebiasaan seperti ini kadang membuatku merasa terisolir dari kehidupan di sekitar luar rumahku. Ibunda sering memperingatkanku untuk sesekali keluar rumah, membaur dengan tetangga, mengikuti rapat karang taruna, mengikuti pengajian malam ahad, jagong, dan yang paling menyebalkan adalah disuruh ikut kerja bakti. Dulu aku memang aktif ikut kumpul- kumpul kayak gituan, tapi semenjak terjadi kejadian yang sangat merugikanku, aku tidak melanjutkan aktifitas- aktifitas bertetangga itu lagi. Bukannya aku tidak mempunyai jiwa social dengan embel- embel toleransi, hanya saja aku merasa lebih nyaman mengurung diri dan membiarkan dunia malamku habis di kamarku sendiri.

Ketika malam mulai larut, aku selalu menyediakan waktu untuk kembali berdua dengannya, dengan lelaki itu. Meski hanya lewat sambungan telepon tanpa kabel, tapi obrolan kami tetap terasa segar dan hangat. Kami membeli kartu perdana dengan tarif bicara yang paling terjangkau untuk kantong kami. Kebetulan kami mempunyai ponsel cadangan yang masih bisa kami gunakan untuk telepon berjam- jam. Aku memintanya bercerita, tentang keadaan rumahnya, tentang aktivitasnya, atau bahkan sesekali memintanya menyanyikan lagu nina bobo yang mengantarkanku memasuki alam mimpi. Tidak jarang kami berdua terlelap tanpa memutus sambungan telepon. Kuanggap tidak jarang, karena hampir setiap pagi aku mendapati ponsel mati karena baterai dropped.
Begitulah aku menutup hariku yang sederhana, meski sangat monoton, tapi aku senang menjalaninya. Aku bahagia. Aku bahagia hidup dengannya.


***
rewrite - repost from my personal note 

ikha oktavianti

DREAM WORDS


Sejak diterima bekerja di Jogja, aku memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah kos sederhana di pinggiran kota. Aku mempunyai kunci pribadi, sehingga aku bisa masuk dan keluar rumah kapan saja aku mau. Dan lelaki itu, dia selalu mengantar dan menjemputku kemanapun aku ingin pergi. Aku suka sekali mendengarkannya bercerita ketika kami berdua sedang berada di dalam mobil warna hijau tua yang suaranya nggak seriuh mobil lawas ayah di rumah. Aku menatap mimik wajahnya yang selalu disesuaikan dengan tema ceritanya. Aku suka ketika di sela- sela ceritanya tiba- tiba dia diam dan memperingatkanku untuk memasang sabuk pengaman karena menurutnya hal itu sangat penting, lalu dia melanjutkan ceritanya lagi. Aku terus tertawa sepanjang jalan, menertawai semua cerita lucu yang dia bilang pengalaman pribadinya, dan aku kembali tertawa. Aku suka ketika dia menyanyikan bait-bait lagu yang menurutnya adalah soundtrack of the day. Aku suka dan sangat suka mendengarkan bagaimana logatnya ketika memanggilku…


“ Liiiiinggg !!!! “


Yeah, I can hear him whispering now…


Oh my Gosh !


Mataku terbelalak melihat sebuah benda bulat yang terdapat tulisan angka melingkar dan mendapati jarum pendek sudah hampir berlalu dari angka enam dan aku baru terbangun. Masih dengan roh yang belum sepenuhnya bersatu dengan jasadku, masih dengan rambut acak- acakan dan kini aku memaksakan diri beranjak setengah berlari menuju kamar mandi untuk mensucikan diri. Aku sholat subuh, sementara di luar mungkin matahari sudah terbit lebih dari sepenggalah. Aku berdoa, tentu saja paket doa kilat layaknya kereta ekonomi yang melaju dengan sangat cepat.


Setelah sholat, aku masuk kamar mandi, namun keluar lagi karena kelengkapan underwear belum terbawa, lalu masuk kamar mandi lagi, dan terpaksa keluar lagi karena ternyata pasta gigi sudah habis, lalu masuk kamar mandi lagi, dan kali ini aku benar- benar mandi. Sekali, dua kali, lima kali, seingatku sekitar tujuh atau delapan kali aku mengguyur tubuhku, kemudian mengeringkannya lagi dengan handuk berwarna merah hati tapi agak pudar, mungkin sudah waktunya untuk diganti.


Benda bulat di kamarku itu terus berdetak seperti hendak menerkamku beberapa detik lagi dan tentu saja aku terus berlari. Oke ! Sekarang aku berhenti berlari, meskipun masih terengah- engah tapi tudung saji membuatku kembali bergairah, aku mendapati benda bulat yang lain di depanku, dan sekarang aku melahapnya. Huaaam ! Siapa yang menolak sebuah telor asin yang dikirim langsung oleh ibunda dari Solo. Meski pernah diindikasikan alergi dengan telor asin, toh berkat benda bulat itu, tampaknya rohku seutuhnya sudah kembali bersatu dengan raga. Aku jadi ingat sesuatu… hmmm…


Where is him??


Is he calling me again??


Ohh, Deaarr !


Aku segera meraih Nokia N70 Music Edition warna hitam yang tergeletak di ranjang yang masih acak-acakan. Di layar terdapat sekitar 13 missed called dan 2 sms. Semua missed called dari nomor yang sama, satu sms berisi ucapan selamat pagi, sms yang satunya hanya bertuliskan “Dasar kebo!”. Aku nyengir kuda. Sial, sms itu dari nomor yang sama dengan ke-tigabelas missed called. Yahh ! Sapa lagi kalo bukan dari lelaki hitam itu. Hitam sih, tapi lumayan manis.


“Haniiiiiiii”, kira- kira begitu aku memanggilnya, tentu saja dengan aksenku; agak manja- manja gitulah. Statusnya jelas; dia cowoku. Rutinitasnya tiap pagi adalah bangunin aku dengan cara menelepon ke nomer handphoneku sampe aku mencetin tombol “yes” di body batangan hitam sebesar genggaman tangan itu. Saking seringnya, rasanya jadi latah mencetin tombol “yes” doank tapi nggak bangun. Udah kebal sama rutinitas yang begituan.


Aku melirik ke arah kalender duduk. Tak terasa sudah bertemu lagi dengan hari Sabtu. Aku berdiri di depan kaca sebesar almari persegi panjang, membersihkan wajah, menyapukan bedak tabur, lalu bedak padat, lalu blush on, lalu menjepit bulu mata, bersisir, tidak lupa mengoleskan lipstick warna pink ke bibir. Nggak menor- menor amat sih, cuma biar keliatan fresh aja, takut juga kalau malah jadinya kayak tante- tante.


Untuk kasus berdandan, bersolek, berias atau apalah itu istilahnya, aku pernah dapat teguran darinya. Dia -tentu saja lelaki yang resmi jadi cowokku itu- pernah menegurku, katanya kala itu, bedakku terlalu tebal. Padahal seingatku itu kencan pertama kita, wajar dong kalau aku benar- benar ingin tampil maksimal di depannya. Tapi dasar, bisa saja dia punya nyali buat negur. Dia nggak tahu kali ya, ketika menjelang hari itu aku nggak bisa tidur, bingung mencari dresscode, sampai belajar make up berjam- jam di depan cermin.


Pagi ini aku bersiap menantinya di beranda depan sambil asik mencetin keypad handphone. Yang kulakukan tentu saja update status facebook, mumpung pulsa telepon semalam baru diisi sama dia. Aku selalu pasang status yang romantis, dan hari ini aku mengawalinya dengan kalimat; menunggu semilir angin menerbangkan asaku…


Sekitar sepuluh menit kemudian, dia datang, masih dengan mobil warna hijau tua yang tampak matching dengannya itu. Pertama kali yang dilakukannya tentu saja tersenyum, senyum yang sangat manis, senyum yang selalu meluluhkan segala resah dan gundah hatiku. Aku mencium tangannya, lembut dan sopan. Buat kami, ini semua rutinitas yang nggak boleh terlewatkan.


Kami berdua masuk ke dalam mobil dan meninggalkan rumah. Kini aku duduk disampingnya yang sedang mengendalikan laju mobil. Aku kembali tersenyum, senyum yang tidak pernah kupaksakan, sambil menatap wajahnya yang jauh dari sikap arogan. Dan seperti apa yang sudah menjadi tradisi, dia bercerita, panjang dan lebar, tentu saja sambil berkelakar. Kami tertawa dan terus tertawa, katanya, untuk pagi yang cerah ini soundtrack of the day adalah sebuah lagu dari Roulette; Aku Jatuh Cinta. Alamak, duniaku benar- benar menyenangkan bersama lelaki ini !


Setengah jam, dan kami sudah sampai di depan gedung megah di tengah kota. Disinilah aku bekerja, di sebuah perusahaan publishing house, perusahaan yang menerbitkan majalah wanita; Jelita. Meski masih tergolong sebagai perusahaan berkembang, tapi reputasinya cukup membuatku yakin bahwa perusahaan ini akan terus maju ke skala yang lebih besar dan menjanjikan.


Aku bekerja sebagai editor serta pengolah ide, kadang aku merangkap menjadi wartawan lapangan, terutama aku sering dikirim untuk melakukan riset di luar negeri. Aku suka sekali berkeliling dunia, sekedar ingin mencari info tentang newest fashion atau kadang menghadiri undangan di acara- acara talkshow dan seminar bertema international magazine. Ini semua jelas sangat didukung oleh kemampuan berbahasa Inggrisku.


Aku sangat menyukai pekerjaanku. Aku suka menulis. Aku suka mengungkapkan ideku yang meluap. Dan yang jelas aku sangat suka traveling. Meski agak aneh jika menghubungkan antara hobi traveling dengan pekerjaan yang kebanyakan menuntutku berada di belakang layar, tapi aku bisa membuat keduanya singkron. Justru hobi traveling sering memberikan kontribusi yang sangat berarti untuk kelancaran pekerjaanku. Aku banyak mendapatkan ide ketika sedang berkeliling nusantara, bahkan dunia. Untuk perkara yang satu ini, aku sengaja selalu melibatkannya. Dia, ya lelaki itu. Dia yang selalu memberiku rekomendasi tujuan traveling serta paket akomodasi yang paling pas untukku. Kadang jika ada waktu dan pekerjaannya tidak sedang dikejar deadline, dia pasti menemaniku menuntaskan perjalananku. Keuntungannya, aku serasa punya bodyguard pribadi.


Ketika tiba waktu makan siang, dia selalu menjemputku di tempat dimana dia berhenti ketika mengantarkanku setiap pagi. Kami menghabiskan waktu dengan jalan- jalan di mall. Banyak orang bilang kami pasangan serasi, meski tidak untuk warna kulit kami yang berbeda seratus delapan puluh derajat, karena dia hitam dan aku identik dengan putih. Aku berbusana sangat feminim dengan dress panjang selutut serta sebuah sabuk melingkar menampakkan tubuhku yang langsing dan jauh dari istilah obesitas, tidak lupa aku memakai sepasang high heels yang sepadan dengan warna baju yang kukenakan. Sedangkan lelaki itu selalu memakai hem berwarna selain hitam, sebuah dasi menjulur dari lehernya serta sepasang sepatu yang membuatnya tampak benar- benar rapi dan macho. Sepanjang jalan kami bergandengan tangan dan semua pengunjung mall tampak iri dengan kemesraan kami.


Kami tak pernah kehilangan bahan obrolan. Kami nggak pernah melewatkan hotnews yang layak dibahas dan didiskusikan berdua, tentang fenomena alam, tentang penyelewengan agama, tentang gosip artis terkini, bahkan tidak jarang kami membahas kondisi ekonomi dan politik negara. Selain itu, aku sering bercerita tentang pekerjaan serta ide- ide yang muncul di kepalaku, begitu juga dia. Ditengah kesibukan kerja, kami tidak pernah absen meluangkan waktu untuk bertemu, sekadar makan berdua.


Aku sangat suka makan bakso, dia jelas tahu hal yang satu ini. Setiap malam minggu dia menjemputku untuk keluar dari rumah. Kami menyusuri jalan- jalan yang tumpah ruah oleh orang- orang yang ingin melepas lelah setelah seminggu berkutat dengan pekerjaan mereka. Biasanya kami berhenti di warung dekat taman kota. Warung bakso rusuk yang sudah lama menjadi langganan kami. Aku hobi sekali makanan pedas, sehingga aku tidak pernah lupa menambahkan beberapa sendok sambal ke dalam kuah bakso di hadapanku. Belakangan aku sering diperingatkan olehnya, lelaki itu melarangku memasukkan sendokan sambal yang ketiga, dan seterusnya. Dia rajin mengomel untuk kebiasaanku yang dinilainya sangat tidak sehat itu. Kami bisa menghabiskan waktu berjam- jam di warung bakso favorit kami ini. Kami tidak langsung pulang setelah melahap semangkok bakso dan segelas es jeruk yang rasanya belum ada tandingannya. Kami mengisi malam minggu dengan bersendau gurau sambil memperhatikan orang- orang di sekeliling kami dan mengomentarinya.


Di setiap perjalanan, aku selalu duduk di sampingnya. Sesekali memperhatikan dengan seksama caranya menarik dan menurunkan rem tangan. Sebenarnya aku pengin bisa menyetir, menggantikannya duduk di belakang benda berbentuk lingkaran itu, memutarnya ke kanan dan ke kiri. Namun, yang bisa kulakukan saat ini baru memegangi tangannya ketika menggerakkan gagang hand persneling ke arah angka satu, dua, tiga, dan kembali ke angka satu lagi. Aku membantunya membunyikan klakson mobil untuk sekedar memperingatkan bahwa lampu merah sudah berganti hijau agar barisan mobil dan motor di depan mobil kami segera melaju kembali.


Ayah di Solo sering bertanya kepadaku lewat telepon, kenapa aku nggak membeli motor sendiri, kata beliau biar sederhana asal bisa untuk alat transportasi, berangkat ke tempat kerja, pulang, pergi ke mall, pergi ke bank, pergi ke supermarket, pergi ke designer sepatu langgananku, ke tempat latihan gym dan ke tempat yang lain- lain yang sering aku tuju sendirian, beliau takut anak gadisnya ini akan merepotkan pacarnya sendiri setiap hari, setiap detik. Kadang akupun terusik oleh saran ayah yang sangat masuk akal, tapi setiap kali aku ungkapkan niatku membeli motor, lelaki itu melarangku. Dia bilang, sebaiknya uangnya ditabung dulu, nanti kalau sudah terkumpul banyak, baru dipakai beli mobil. Dia hafal betul dengan impianku yang satu itu, sebuah Mobil Suzuki Swift warna biru. Sementara itu, katanya aku bisa menumpang mobilnya dulu, kalau nggak, aku bisa menggunakan jasa bus Transjogja. Kalau dia sudah ngasih wejangan kayak gitu, aku tinggal menuruti saja kata- katanya, aku anggap dia seorang konsultan manajemen dalam hidupku. Kurasa ada bagusnya juga memanfaatkan ilmunya selama tiga setengah tahun kuliah di Fakultas Ekonomi.

***
Hari ini hari Minggu, hari yang sangat cerah. Sepertinya mentari sedang bermurah hati membagikan sinar bahagia untuk belahan bumi Jogjakarta. Disini aku juga sedang menyimpan bahagia, duduk di sebuah bus Transjogja yang longgar dan bersih, yang membawaku melaju hendak bertemu sang kekasih.



Kekasihku masih lelaki yang sama, hari ini dia tidak bisa menjemputku langsung dari rumah kos, sehingga aku memutuskan naik Transjogja untuk menemuinya di sebuah toko buku terbesar di Jogjakarta. Kabarnya dia juga ada meeting di convention hall terdekat. Sekalian aku juga butuh mencari buku disana, untuk referensi.



Di bawah teduhnya atap bus Transjogja, aku melayangkan pandangan keluar jendela kaca, menatap hiruk pikuk lalu lintas sepanjang jalan utama Jogjakarta. Transjogja memang tidak bisa dilepaskan dari Kota Jogjakarta. Bus yang selalu berwarna hijau segar ini merupakan salah satu alternatif jasa transportasi yang disediakan oleh Pemerintah Jogjakarta untuk umum. Sebagai salah satu penggunanya, sudah pasti aku merasa sangat beruntung. Aku sangat beruntung karena meskipun aku tak mengamini saran ayah untuk beli motor, toh dengan Transjogja aku tetap bisa pergi kemana-mana sendirian saja, maksudku tanpa kekasihku itu, karena kadang dia juga sangat sibuk dengan pekerjaannya. Disamping itu, aku juga masih bisa menyalurkan hasrat travelingku, meski hanya berkeliling daerah Jogja, at least, I’m satisfied. Aku, bahkan dengan kekonyolanku, pernah naik bus dengan jalur khusus ini sampai pangkalan paling ujung, hanya dengan membayar satu tiket seharga tigaribu rupiah. Fantastis dan ngirit abis, sekaligus, sekali lagi, menerapkan ajaran dari lelaki bergelar Sarjana Ekonomi itu.



Kusadari bahwa lelaki itu telah banyak mempengaruhiku. Dia selalu memperhatikan gaya hidupku, sangat detail. Dia banyak memberiku masukan positif serta senantiasa memperingatkanku untuk meninggalkan kebiasaan- kebiasaan negatif, termasuk pemborosan. Awalnya memang sangat berat, karena pada dasarnya aku termasuk cewek yang boros. Untung dia sabar, dia sering menasehati cara mengelola keuangan dengan baik.

Meskipun sekarang aku mulai menikmati setiap saran positif yang diberikannya padaku, di sisi lain, aku juga pernah mengalami pengalaman unik berkenaan dengan hasrat belanjaku versus kesabaran lelaki itu. Pernah suatu ketika, seperti biasa, dia mengajakku pergi ke mall. Saat itu mendekati tahun baru, sehingga di sebagian besar areal mall tersebar tulisan “SALE” dan "DISCOUNT UP TO 70%", etalase dipenuhi berbagai barang menarik, manequine yang seakan ikut melambai, dan lidah para SPG sepertinya sudah sangat terlatih mengucapkan mantra laris manis. Sementara, sebagai satu kesatuan dari pemandangan ganjil hari itu, tersebutlah aku hanya menatap keriuhan mall dari sudut foodcourt. Bagaimana tidak, setiap kali aku berniat membeli barang- barang di etalase, pun dengan uangku sendiri, lelaki itu akan menghadapkanku dengan satu pertanyaan, “KAMU BENAR- BENAR BUTUH NGGAK, LING??”. Sialnya, aku memang tidak bisa mendebatnya kala itu karena faktanya aku memang tidak begitu membutuhkan berbagai barang sale yang menarik itu. Alhasil, dengan muka kusut menahan kecewa, aku turut saja ketika kemudian dia mengajakku duduk- duduk di sudut foodcourt sambil menikmati ice cream cone yang dibelikannya untukku. Kuakui lelaki itu hebat, terbukti dia bisa menciptakan obrolan yang menarik untuk mengembalikan moodku yang sudah pasti sangat buruk. Segarnya obrolan dan manisnya ice cream cone sukses menghilangkan lapar mata di pusat belanja kala itu, sekaligus satu kemenangan untuk kesabaran lelaki itu.



Transjogja yang kutumpangi berhenti di halte paling dekat dengan toko buku yang kumaksud. Aku segera turun dan menelepon lelaki itu. Beberapa kali kudengar bunyi “tut” kemudian suaranya menyahut dari seberang. Untuk kesekian kalinya aku mendapat sebuah sapaan selamat siang yang manis darinya. Setelah cukup jelas menanyakan posisinya, aku segera memutus sambungan telepon. Aku segera melangkah masuk ke dalam toko buku. Tempatnya luas, sejuk, dan nyaman, sangat betah jika berlama- lama berada di dalam. Musik jazzy yang easy listening juga diperdengarkan sebagai backsound. Kalau suasana sudah sangat mendukung seperti ini, jangan heran si empunya mobil warna hijau tua itu betah sekali disini. Jangankan disediakan kursi untuk duduk, nggak ada kursi pun bakal dia jabanin berdiri seharian sambil melototin lembaran- lembaran kertas yang penuh tulisan itu.



Berkebalikan dengan aku yang lebih suka menulis, lelaki itu memang sangat suka membaca. Pilihannya selalu jatuh pada buku- buku motivasi serta buku- buku berbau marketing. Sebenarnya aku pengin sekali bisa menyukai buku- buku motivasi, ada saja caraku membacanya; kubaca sebelum tidur, kubaca setelah makan, kubaca ketika buang air besar, dan usaha- usahaku membaca di tempat nyaman yang lain, tapi sayangnya semua caraku itu selalu saja gagal, entah karena aku sulit menjaga konsistensi membaca, atau sulit memahami maksud dari setiap kalimat di dalam buku- buku itu.



Meskipun aku suka menulis, tapi aku jarang membaca, tentunya pengecualian untuk membaca majalah dan koran; It’s a must! Rekor membacaku sangat buruk dan satu- satunya orang yang terus menyemangatiku untuk suka membaca ya lelaki itu. Dia rajin sekali pergi ke toko buku, membaca buku motivasi dan membelikannya satu untukku. Dia memberi waktu sekitar dua sampai tiga minggu padaku untuk menyelesaikan satu buku setebal batu bata, kemudian menyuruhku menceritakan isi buku itu kepadanya. Cara yang efektif meski mungkin bagi sebagian orang terkesan sedikit memaksa. Belakangan tampaknya dia mulai faham dengan keinginanku, dia tidak lagi membelikanku buku motivasi yang hanya sering kugunakan untuk bantal tidur, sekarang dia lebih suka membelikanku novel atau buku- buku kumpulan cerpen. Sebagai bocoran, sebenarnya berangkat dari hal itu pula aku semakin tertarik dengan dunia menulis dan tak tanggung- tanggung aku berani menggantung sebuah cita- cita menjadi seorang penulis handal.



Setelah beberapa menit sempat takjub melihat display novel bestseller di samping tempatku berdiri, tiba- tiba lelaki itu muncul dari arah berlawanan denganku. Kulihat penampilannya masih rapi, maklumlah dia kan baru saja selesai meeting. Terkadang aku merasa kasihan juga dengannya, hari ini kan hari libur, sementara dia masih saja melengkapi urusan pekerjaan. Demi masa depan yang cerah, it’s okay lah. Senyumnya terkembang.



Selama berjam- jam lelaki itu menemaniku menyusuri rak- rak buku sampai aku menemukan sebuah buku yang kucari. Cukup sulit menemukan sebuah buku referensi yang kucari, namun karena ada dia, akhirnya buku itu berada ditangan. Aku melempar senyum padanya, terimakasih telah membantu.

Setelah menyelesaikan urusan dengan toko buku, kami memutuskan untuk mencari tempat makan. Kali ini dia menghentikanku di sebuah restoran fastfood terkenal dengan simbol M – nya. Mc. D. Dia memesan Big Mac, French fried dan dua gelas softdrink. Ini special order, menu yang selalu mengingatkanku pada detik- detik awal mula lelaki itu menyatakan cinta padaku. Beberapa tahun yang lalu dia menyatakan cintanya di restoran fast food yang sama, bedanya dulu di Solo, sekarang di Jogjakarta. Dimanapun tempatnya, yang pasti momen itu nggak terlupakan. I’m lovin’ it!



Setelah melahap sebuah burger raksasa, seperti biasa, sesi berkomentar pun dimulai. Kata lelaki itu, burgernya nggak seenak biasanya. Padahal aku sama sekali nggak merasakan ada yang aneh dengan rasanya. Menurutku sama saja. Ahay! Salah satu julukan yang kuberikan untuknya adalah “komentator”. Sangat tepat, karena lelaki itu memang jago memberi komentar. Aku sering protes untuk kebiasaannya yang satu itu, tapi dia selalu saja berkelit, katanya; semua nggak akan maju tanpa adanya komentar. Meskipun tidak semua komentar itu baik, tapi justru komentar yang jelek yang sering membawa kita ke arah yang lebih baik, tentu saja dengan perbaikan maupun perubahan. Benar juga sih.



Lelaki itu paling semangat berkomentar mengenai rasa masakan, dia sangat peka. Sialnya, bahkan nggak ada pengecualian untuk masakan yang dibuat oleh ceweknya sendiri. Sesekali di waktu senggang, aku memang suka belajar memasak. Aku membaca resep di majalah dan browsing dari internet. Sudah banyak resep yang kucoba praktekkan. Dari yang paling simple sampai yang rumit. Dan kesemuanya selalu dinilai oleh lelaki itu, dari nilai D minus sampai A minus. Sangat menyedihkan, karena sampai detik ini aku belum pernah mendapat komentar “sangat enak sekali” alias A plus- plus. Namun bagaimanapun hasilnya, aku suka kejujurannya menilai masakanku, meski nggak selalu enak, tapi itu kenyataan, sehingga aku harus terus berimprovisasi agar kelak aku bisa mendapatkan nilai yang kuinginkan. Bagiku tidak hanya untuk sebuah nilai masakan, untuk hal yang lain, komentar sangat diperlukan, tentu saja untuk sebuah hasil yang lebih baik dan sesuai harapan.




sandiwara cinta dua insan bersahaja :)
ikha oktavianti

27.5.10

BANJIIRRRR !!!


Gila,
Ini sekolahku banjir beneran, jadi males ni mo ngajar, pengen maenan air .. hihiii
Dasarnya sekolah udah jelek, ditambah kebanjiran pula, semua perabotan ngajar bececeran kesana kesini, persis kaya kapal pecah. Miris :(
Prihatin juga nih sama gedung sekolah, udah hampir 10 tahun aku hengkang dari sini, tetep aja kondisinya gak tambah baik, eh, malah tambah parah mampus.
Gara-gara banjir, pikiranku jadi berlayar ke masa kecilku dulu, jamannya masih pake seragam merah putih, disekolah sini juga nih..
Dulu, kalo banjir kaya gini, bagian yang paling aku suka tuh, bisa lepas sepatu trus maenan kapal2 kertas, hahaa..
Dan bagian yang paling menjijikkan adalah : CACING masuk kelas!
Nah, cukup beralasan kan kalo cacing yang jelek, item, bau kaya gitu bisa pinter.... pinter mengolah tanah :)

27/05/2010

26.5.10

Catatan gila !

akhir-akhir ini saya jadi males banget online facebook.. karena disana disini temen2 pada rame upload fotofoto wisuda.. tagging sana tagging sini, 
pasang caption yang super lebay, pokoknya banyak gaya... dan dalam hati saya yang suka ngiri ini hanya bisa bertanya tanya... saya uploadnya wisudanya kapan ya??

hmm.
kalo sudah begini, saya jadi inget sesuatu yang sering membuat  perut mual-mual rindu setengah mati, sesuatu yang bisa membuat jantung saya berhenti berdegup kencang, sesuatu yang akhirakhir ini menjadi HOT topic dalam hidup saya ; SKRISPI
yayaya.. sengaja ditulis gitu, biar rasarasanya kaya makanan, enak, bergizi, dan yang pasti gak bikin kejang otak
(semoga anda tidak benarbenar tertipu promosi seorang mantan SPG)

Sejauh ini, saya selalu menjaga hubungan batiniah serta lahiriah dengan benda abstrak itu... 
Saya selalu memanjakannya, memikirkannya, dan ya... saya berusaha membencinya mencintainya setulus hati...  
saya tidak mau pengen banget jauh darinya... dan saya selalu memberikan ruang khusus di usus hati saya...
fiuuhh... helloow my fellow... 
sampaisampai vocabulary saya habis hanya untuk mendeskripsikan betapa saya sangatsangatsangat dan sangat mengagung-agungkan that holy skrispi...

in other hand,
semakin hari semakin saya tidak mempedulikan waktu saya habis hanya untuk mengelu-elukan benda abstrak itu, dan disinilah saya mulai menyalahkan diri saya sendiri..

SALAH SAYA ; saya tidak melakukan ACTION apapun ketika saya bilang mencintainya, saya hanya menyimpannya rapih di pikiran saya serta mengatakannya manis di mulut saya...
n I did nothing... 


inilah akibatnya sekarang, 
khalayak rame mulai menekan saya, disanadisini semua menanyakan hasil dari relationship saya dengan skrispi saya yang kenyataannya sampai sekarang masih suci itu...

saya sendiri akhirnya berpulang pada kenyataan bahwa saya adalah orang yang tidak konsisten terhadap omongan saya, dan saya merasa sangat tertampar oleh sifat saya ini...

sejujurnya saya adalah insan (mahasiswa) yang boleh jadi sangat beruntung karena mendapat pembimbing yang superduper baik (sampaisampai saya dibuat bingung oleh kebaikan beliau ini)

tapi, saya terlena... 
selama ini saya begitu memujamuja skrispi yang seharusnya segera saya pinang (baca: SELESAIKAN!)itu. 
tanpa berpikir deadline saya semakin pendek untuk menikahinya dengan pesta walimah yang sangat ditunggutunggu orangorang tercinta dalam hidup saya (baca:WISUDA)
kini, 
giliran saya sudah mulai bosan, saya harus terpaksa berjuang mencintai skrispi saya lagi... kali ini tentu saja saya menyertakan efforts...
konsekuensinya, saya harus begadang sampai dini hari, saya harus memangkas jam pacaran, saya terpaksa menghilangkan kamus keduniawian...menyiksa ??
YA !
sudah pasti saya sangat tersiksa, ini jelas bukan saya bangett !


huft..
tapi saya sadar ini semua saya lakukan for the sake of SKRISPIIII



 
doakan saya, semoga saya bisa segera meminangnya dalam pesta walimah yang paling indah...

24.5.10

C H A N C E


Yesterday, you came in your intend,
You said that you made mistake again,
You asked me a chance for you to change,
And I noticed a faithful from your accent.


There will be another chance,
To prove that you're still mine,
So take a look for a glance,
To see that there will be sun shine.

Though it's hard to believe then,
'Cause we're separated by distance,
To my love that never end,
I'll wait with all my patience.


***

24/11/08


Lewat senandung rindu…
Ingin kukirim bisikan kalbu padamu…
Walau yang terlahir hanya sepotong syair dari jutaan bait yang terurai indah …
Untukmu seutuhnya jiwa ini kutambatkan…
Padamu langkah cita ini kelak kutambatkan…
Ku terbawa , semakin terbawa…
Tenggelam dalam sebuah cerita kerinduan…
Semoga bahagia selalu bersamamu


24-Nov-08
Waru to Mecca, 19:37

S E N Y U M



Senyum,
Dan kini senyummu mencandu..
Meracun muara rasa dalam kalbu..

Senyum,
Dan lagi senyummu merayu..
Menggoda cinta yang sempat meragu..

Senyum,
Dan senyummu itu merindu..
Mencumbu slalu di peraduan malamku..

Senyum,
Hanya padamu kutunggu seulas senyum :)

20:46
24/05/2010
inspirasi oleh 'mas yg tersenyum' dalam perjalanan minggu malam :)

Poem on My Birthday



Kemarin sore, 8 oktober 2009, sepulang belajar kelompok, aku dikejutkan oleh sebuah kotak besar bertuliskan

kepada :
IKHA OKTAVIANTI
d/a
Kuncen, RT 05 / RW 03, Waru, Baki, Sukoharjo
57556

penasaran langsung kubuka..
Dan taraa..
Aku menemukan selembar kertas HVS menempel di lapisan pertama kotak aneh tersebut, pelan kubaca tulisan diatasnya..
 


Seulas senyum menghias bibir mungil itu…
Selayang pandang lirikan mata itu…
Seraut wajah manis menyembul dianganku…
Memaksaku tuk kembali mengenang masa kecilmu…
Yang lucu…manis…ach…gemesin…selalu
Ternyata itu telah berlalu…berganti wajah seorang gadis ayu…
           
            Ach…tak terasa waktu begitu cepat berlalu…
            Kini, 21 tahun sudah kau menghiasi hari-hariku
            Anakku telah tumbuh menjadi seorang gadis ayu…
            Gadis yang penuh sensasi, agresif dan kemayu…
            Semoga kau tak silau isi dunia yang kemilau
            Karena, mungkin itu hanya semu…

Latih dirimu, kembangkan kreasimu
Tuk menghadapi dunia yang penuh haru biru
Jangan terlena oleh bujuk rayu
Semoga Allah selalu menyertaimu
Membimbingmu menuju cita-citamu

            21 tahun sudah kau di dunia
            Jadilah gadis yang lebih dewasa
            Jangan ikuti omongan yang tak berguna
            Mantapkan tekadmu, ikuti hatimu
            Pandang ke depan masa depanmu
            Raih cita-cita dan anganmu
            Do’a ayah bunda, dan adik menyertaimu



“SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE 21”
Semoga panjang umur, sehat selalu…
Lindungi dirimu dari segala coba…
Pakai helm ini tuk lindungi kepalamu dari mara bahaya
Semoga apa yang kamu cita-citakan cepat tercapai, amiiiin ya robbal’alamin

                        Dengan bertambahnya usiamu semoga bertambah pula ibadahmu, baktimu pada
                        ortu, sayang ma adik n bertambah pula yang BAIK-BAIK  aja …yah…


                                      Kami yang menyayangimu
                                      Ayah – Bunda - Adek

081009
beloved fam :)

Aduh, aduh aduh..
Tak terasa pipiku telah basah..
Aku menangis tersedu..
Hadiah itu dari mereka yg kusayang...

Terimakasih, Ayah, Bunda, Adek..
Hug for all of u <3

BIZZARE LOVE TRIANGLE


          I still dazed and bumpy with Tasya’s feeling, my buddy. Why not, because her boyfriend that named Aris, suddenly give more attention to me. It began when Aris, Tasya, and I went to a movie together. Aris and I introduced each other just like usual. I didn’t know who is Aris exactly. However, according to Tasya’s story in the class, I knew that she was very proud of him. I was sure that Aris is a good boy.
          Since a week after meeting with us, Tasya said that Aris was changed and often asked her about me. I knew how is Tasya’s feeling at that time. Since that, I was afraid that Tasya would be misunderstanding.
          I was puzzled because Aris wrote a love letter for me. However, I didn’t pay attention about it. He had given it for many times but I never replied it. Till at a night, Oh God! He was alone coming to my house.
“Why do you come here?” I asked him unbelievably.
“Why don’t you reply my letter?” he said.
“No, and never!” I answered quickly.
“But, Nis…” he said.
“You had known that Tasya is your girlfriend and she is my buddy. We are classmate. I won’t grass on her.” I said to him.
“But, you must know, Nis. Actually I’m not happy by her side. I feel more comfortable with you.” He answered.
“Please, forgive me. I can’t. Whatever your reason I can’t ! So, please don’t hope anything from me. I don’t want my self to have a problem with you.” I said.
                I saw Aris was very disappointed. Since that Aris and I never meet again. There is no communication between us. The same situation happened to Tasya too. She avoids me. Till at noon, I saw Tasya day dreamed in our class. Then I came closer to her.
“Sya, why do you avoid me? Or do you have a problem?” I asked.
“It’s because of you !! You know Aris, right? He is my boyfriend. Why do you take him out of me, take him out of my life?!” She answered.
                Her statement really made me so fed up. She started to cry. I was so confused to tell the truth to her.
“Tasya, I never knew what Aris mean to me. He comes to your life and gives you a dream. But, in the other side he also comes to my life and says about his feeling to me by some love letters that I don’t pay attention to it. But now, I don’t know how can you say that I take him from your life?” I tried to tell the truth but I couldn’t continue, because I started to cry too.
                But, till now, Tasya still unbelieves me for the truth that I’ve told to her. She doesn’t understand the meaning of friendship and now, I just pass the free time alone without Tasya’s laugh and smile.


Story by : Ikha Oktavianti
Translated by : my lil sista (Anin - Lantika)

23.5.10

J O G J A K A R T A


SEKELUMIT CERITA TENTANG JOGJA

Jesjesjes..
Kereta yang berwarna silver ini meraung- raung di tengah hiruk pikuk stasiun kota. Aku dan dia segera masuk dan mencari tempat duduk. Namun malang, lagi-lagi kami kehabisan kursi. Keadaan ini tak menyurutkan niatku untuk pergi ke Jogja, kota yang penuh sejuta kenangan indah bersamanya.
"Kamu pasti bahagia.." kata-katanya membuyarkan lamunanku.
Aku hanya tersenyum dan menggenggam erat jemarinya. Tak kurasakan lagi lelah hati yg kemarin kurasa. Kini yang ada hanya setumpuk bahagia dan suka cita.
Hari ini seharusnya dia dirumah saja, mempersiapkan diri menghadapi tes kerja dari Jakarta besok Senin. Tapi aku semakin manja ketika dia sibuk mencari sarana berangkat kesana. Seperti sewajarnya wanita, aku telah mengeluarkan jurus-jurus yang biasanya. Diam dan mengangguk bila ditanya, tak ada yang beda, hanya itu saja kadang kutambah dengan memasang muka kecewa, haha thats perfect! N now I’m going there with him :D
Jogja..
Ada apa dengan kota kecil itu?
Kenapa setiap jenuh aku selalu merindu hadir ditengah tengah damainya kota itu?
Aku bahkan tak kenal benar seluk beluk Jogja.. Tujuan wisata atau apalah.. No idea!
Tapi ada perasaan riang yang menyelinap ketika melewati setiap liku kota itu. Dan kini aku merasakannya kembali.
You’ve got any idea??”, kata-katanya mendadak menghentikan gerakan jemariku yang sedang sibuk memenceti tombol keypad handphone. Sambil memasukkan handphone ke dalam tas, aku menoleh kearahnya, menatapnya dalam, tersenyum dan menjawabnya singkat.
Lil bit”
Wajahnya terasa sangat lekat dengan wajahku. Dia kembali mengikhlaskan sebuah senyum simpul menghiasi wajahnya. Walaupun aku tahu, dia pasti akan sangat capek hari ini. Tiket ke Jakarta dengan keberangkatan pukul enam sore sudah dikantongnya dan siang ini aku tak punya hati memaksanya menemaniku melaju ke Jogjakarta. O my God, I know u must be tired, hanii…
No prob!”, he said. “Kalau kamu tak punya tujuan di Jogja, lagi-lagi kita hanya akan menghabiskan waktu berjalan di sepanjang Malioboro, is it okay?!”.
“That’s a good idea!”, aku tertawa terkekeh melihat gesture tubuhnya ketika mengucapkan kata-katanya itu.
Satu jam tepat, akhirnya kereta ini berhenti di stasiun Tugu. Hiruk pikuk kembali memenuhi otakku. Keadaan yang hampir sama seperti ketika berada di stasiun Balapan tadi.
Aku kembali menginjakkan kaki di Jogjakarta. Kota yang selalu membuat hatiku menemukan kenyamanan yang sebenarnya, selain di atas talang genteng rumah tentunya. Tak peduli berapa ongkos yang harus kukeluarkan untuk sampai di kota ini, yang jelas aku akan merasa sangat puas bila sudah menginjakkan kaki disini.
Aku menghentikan langkah ketika menatap jalanan Malioboro yang seolah memutar ulang rekaman video dalam otakku. Satu dua pecahan memori menggantung di pikiranku. Lelaki di sampingku ini kulihat mulai terheran-heran dengan tingkahku, hal itu yang kemudian membuatku tersenyum geli ketika menatap wajahnya. Mulutnya tak henti bercerita, menceritakan keadaan sekitar yang mengundang perhatiannya. Sebuah bakat yang sepertinya tidak disadari dalam dirinya.
Mentari telah berada tepat di atas kepala. Panasnya menyulut semangat para pejalan yang berlalu lalang di sepanjang gang sempit Malioboro. Ada yang sekadar berjalan-jalan saja, tapi banyak juga yang tawar menawar harga barang belanja. Aku dan dia berjalan beriringan, tapi ada kalanya berjalan berurutan, let say, he always protects me...
Menyusuri habis jalanan Malioboro dengan segala aktivitas sibuknya membuatku lupa dengan segala kelelahan yang ditimbulkannya.  
Yepp, I love this place, Jogja for the most part.
Beberapa jam waktu terbuang hanya untuk berjalan-jalan, lalu dia mengajakku berhenti di masjid besar di seberang Malioboro. Duduk berdua dibawah akasia, sambil menunggu waktu masuk sholat dhuhur.
“So, ini yang kau bilang bahagia??”, tanyanya mengernyitkan dahi.
“Yup!”, lagi-lagi aku tak pernah bisa mengungkapkan semua perasaanku langsung kepadanya dengan sejumlah kata-kata yang jelas. Hanya dengan menatap wajahnya saja telah bisa membuatku terdiam terbungkam menikmati desiran aliran darah menuju jantung yang semakin cepat rasanya. Ironis.
Dia kembali tersenyum.
Glad to be your boyfriend. Cuma dengan mengajakmu ke Jogja bisa bikin kamu bahagia, ‘n nothing to do here…” tawa kita berdua pecah seketika.
Ya! Apapun itu, aku tidak kesini semata-mata untuk memuaskan hasrat belanjaku, aku juga tidak kesini untuk memuaskan hasrat makan gudeg-yang notabene makanan khas jogja-. Tapi aku kesini untuk mendapatkan lagi momen- momen indah itu bersamanya. Bersama seorang lelaki yang telah meluangkan waktunya untuk menemaniku merasakan lagi getaran-getaran asmara kala kita berkencan dan berjumpa. Serta kembali untuk menyampaikan salam-salam rindu pada setiap ruas jalan Jogjakarta…
“Aku bahagia bersamamu, sayang…”, I said clearly.
Hanii, I love u
                                                             Tulisan ini ditulis di atas kereta api Prameks  
                                                              jurusan Balapan-Jogjakarta dan sebaliknya 
                                                              Pada hari Sabtu, 13 Juni 2009