29.5.10

DREAM WORDS


Sejak diterima bekerja di Jogja, aku memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah kos sederhana di pinggiran kota. Aku mempunyai kunci pribadi, sehingga aku bisa masuk dan keluar rumah kapan saja aku mau. Dan lelaki itu, dia selalu mengantar dan menjemputku kemanapun aku ingin pergi. Aku suka sekali mendengarkannya bercerita ketika kami berdua sedang berada di dalam mobil warna hijau tua yang suaranya nggak seriuh mobil lawas ayah di rumah. Aku menatap mimik wajahnya yang selalu disesuaikan dengan tema ceritanya. Aku suka ketika di sela- sela ceritanya tiba- tiba dia diam dan memperingatkanku untuk memasang sabuk pengaman karena menurutnya hal itu sangat penting, lalu dia melanjutkan ceritanya lagi. Aku terus tertawa sepanjang jalan, menertawai semua cerita lucu yang dia bilang pengalaman pribadinya, dan aku kembali tertawa. Aku suka ketika dia menyanyikan bait-bait lagu yang menurutnya adalah soundtrack of the day. Aku suka dan sangat suka mendengarkan bagaimana logatnya ketika memanggilku…


“ Liiiiinggg !!!! “


Yeah, I can hear him whispering now…


Oh my Gosh !


Mataku terbelalak melihat sebuah benda bulat yang terdapat tulisan angka melingkar dan mendapati jarum pendek sudah hampir berlalu dari angka enam dan aku baru terbangun. Masih dengan roh yang belum sepenuhnya bersatu dengan jasadku, masih dengan rambut acak- acakan dan kini aku memaksakan diri beranjak setengah berlari menuju kamar mandi untuk mensucikan diri. Aku sholat subuh, sementara di luar mungkin matahari sudah terbit lebih dari sepenggalah. Aku berdoa, tentu saja paket doa kilat layaknya kereta ekonomi yang melaju dengan sangat cepat.


Setelah sholat, aku masuk kamar mandi, namun keluar lagi karena kelengkapan underwear belum terbawa, lalu masuk kamar mandi lagi, dan terpaksa keluar lagi karena ternyata pasta gigi sudah habis, lalu masuk kamar mandi lagi, dan kali ini aku benar- benar mandi. Sekali, dua kali, lima kali, seingatku sekitar tujuh atau delapan kali aku mengguyur tubuhku, kemudian mengeringkannya lagi dengan handuk berwarna merah hati tapi agak pudar, mungkin sudah waktunya untuk diganti.


Benda bulat di kamarku itu terus berdetak seperti hendak menerkamku beberapa detik lagi dan tentu saja aku terus berlari. Oke ! Sekarang aku berhenti berlari, meskipun masih terengah- engah tapi tudung saji membuatku kembali bergairah, aku mendapati benda bulat yang lain di depanku, dan sekarang aku melahapnya. Huaaam ! Siapa yang menolak sebuah telor asin yang dikirim langsung oleh ibunda dari Solo. Meski pernah diindikasikan alergi dengan telor asin, toh berkat benda bulat itu, tampaknya rohku seutuhnya sudah kembali bersatu dengan raga. Aku jadi ingat sesuatu… hmmm…


Where is him??


Is he calling me again??


Ohh, Deaarr !


Aku segera meraih Nokia N70 Music Edition warna hitam yang tergeletak di ranjang yang masih acak-acakan. Di layar terdapat sekitar 13 missed called dan 2 sms. Semua missed called dari nomor yang sama, satu sms berisi ucapan selamat pagi, sms yang satunya hanya bertuliskan “Dasar kebo!”. Aku nyengir kuda. Sial, sms itu dari nomor yang sama dengan ke-tigabelas missed called. Yahh ! Sapa lagi kalo bukan dari lelaki hitam itu. Hitam sih, tapi lumayan manis.


“Haniiiiiiii”, kira- kira begitu aku memanggilnya, tentu saja dengan aksenku; agak manja- manja gitulah. Statusnya jelas; dia cowoku. Rutinitasnya tiap pagi adalah bangunin aku dengan cara menelepon ke nomer handphoneku sampe aku mencetin tombol “yes” di body batangan hitam sebesar genggaman tangan itu. Saking seringnya, rasanya jadi latah mencetin tombol “yes” doank tapi nggak bangun. Udah kebal sama rutinitas yang begituan.


Aku melirik ke arah kalender duduk. Tak terasa sudah bertemu lagi dengan hari Sabtu. Aku berdiri di depan kaca sebesar almari persegi panjang, membersihkan wajah, menyapukan bedak tabur, lalu bedak padat, lalu blush on, lalu menjepit bulu mata, bersisir, tidak lupa mengoleskan lipstick warna pink ke bibir. Nggak menor- menor amat sih, cuma biar keliatan fresh aja, takut juga kalau malah jadinya kayak tante- tante.


Untuk kasus berdandan, bersolek, berias atau apalah itu istilahnya, aku pernah dapat teguran darinya. Dia -tentu saja lelaki yang resmi jadi cowokku itu- pernah menegurku, katanya kala itu, bedakku terlalu tebal. Padahal seingatku itu kencan pertama kita, wajar dong kalau aku benar- benar ingin tampil maksimal di depannya. Tapi dasar, bisa saja dia punya nyali buat negur. Dia nggak tahu kali ya, ketika menjelang hari itu aku nggak bisa tidur, bingung mencari dresscode, sampai belajar make up berjam- jam di depan cermin.


Pagi ini aku bersiap menantinya di beranda depan sambil asik mencetin keypad handphone. Yang kulakukan tentu saja update status facebook, mumpung pulsa telepon semalam baru diisi sama dia. Aku selalu pasang status yang romantis, dan hari ini aku mengawalinya dengan kalimat; menunggu semilir angin menerbangkan asaku…


Sekitar sepuluh menit kemudian, dia datang, masih dengan mobil warna hijau tua yang tampak matching dengannya itu. Pertama kali yang dilakukannya tentu saja tersenyum, senyum yang sangat manis, senyum yang selalu meluluhkan segala resah dan gundah hatiku. Aku mencium tangannya, lembut dan sopan. Buat kami, ini semua rutinitas yang nggak boleh terlewatkan.


Kami berdua masuk ke dalam mobil dan meninggalkan rumah. Kini aku duduk disampingnya yang sedang mengendalikan laju mobil. Aku kembali tersenyum, senyum yang tidak pernah kupaksakan, sambil menatap wajahnya yang jauh dari sikap arogan. Dan seperti apa yang sudah menjadi tradisi, dia bercerita, panjang dan lebar, tentu saja sambil berkelakar. Kami tertawa dan terus tertawa, katanya, untuk pagi yang cerah ini soundtrack of the day adalah sebuah lagu dari Roulette; Aku Jatuh Cinta. Alamak, duniaku benar- benar menyenangkan bersama lelaki ini !


Setengah jam, dan kami sudah sampai di depan gedung megah di tengah kota. Disinilah aku bekerja, di sebuah perusahaan publishing house, perusahaan yang menerbitkan majalah wanita; Jelita. Meski masih tergolong sebagai perusahaan berkembang, tapi reputasinya cukup membuatku yakin bahwa perusahaan ini akan terus maju ke skala yang lebih besar dan menjanjikan.


Aku bekerja sebagai editor serta pengolah ide, kadang aku merangkap menjadi wartawan lapangan, terutama aku sering dikirim untuk melakukan riset di luar negeri. Aku suka sekali berkeliling dunia, sekedar ingin mencari info tentang newest fashion atau kadang menghadiri undangan di acara- acara talkshow dan seminar bertema international magazine. Ini semua jelas sangat didukung oleh kemampuan berbahasa Inggrisku.


Aku sangat menyukai pekerjaanku. Aku suka menulis. Aku suka mengungkapkan ideku yang meluap. Dan yang jelas aku sangat suka traveling. Meski agak aneh jika menghubungkan antara hobi traveling dengan pekerjaan yang kebanyakan menuntutku berada di belakang layar, tapi aku bisa membuat keduanya singkron. Justru hobi traveling sering memberikan kontribusi yang sangat berarti untuk kelancaran pekerjaanku. Aku banyak mendapatkan ide ketika sedang berkeliling nusantara, bahkan dunia. Untuk perkara yang satu ini, aku sengaja selalu melibatkannya. Dia, ya lelaki itu. Dia yang selalu memberiku rekomendasi tujuan traveling serta paket akomodasi yang paling pas untukku. Kadang jika ada waktu dan pekerjaannya tidak sedang dikejar deadline, dia pasti menemaniku menuntaskan perjalananku. Keuntungannya, aku serasa punya bodyguard pribadi.


Ketika tiba waktu makan siang, dia selalu menjemputku di tempat dimana dia berhenti ketika mengantarkanku setiap pagi. Kami menghabiskan waktu dengan jalan- jalan di mall. Banyak orang bilang kami pasangan serasi, meski tidak untuk warna kulit kami yang berbeda seratus delapan puluh derajat, karena dia hitam dan aku identik dengan putih. Aku berbusana sangat feminim dengan dress panjang selutut serta sebuah sabuk melingkar menampakkan tubuhku yang langsing dan jauh dari istilah obesitas, tidak lupa aku memakai sepasang high heels yang sepadan dengan warna baju yang kukenakan. Sedangkan lelaki itu selalu memakai hem berwarna selain hitam, sebuah dasi menjulur dari lehernya serta sepasang sepatu yang membuatnya tampak benar- benar rapi dan macho. Sepanjang jalan kami bergandengan tangan dan semua pengunjung mall tampak iri dengan kemesraan kami.


Kami tak pernah kehilangan bahan obrolan. Kami nggak pernah melewatkan hotnews yang layak dibahas dan didiskusikan berdua, tentang fenomena alam, tentang penyelewengan agama, tentang gosip artis terkini, bahkan tidak jarang kami membahas kondisi ekonomi dan politik negara. Selain itu, aku sering bercerita tentang pekerjaan serta ide- ide yang muncul di kepalaku, begitu juga dia. Ditengah kesibukan kerja, kami tidak pernah absen meluangkan waktu untuk bertemu, sekadar makan berdua.


Aku sangat suka makan bakso, dia jelas tahu hal yang satu ini. Setiap malam minggu dia menjemputku untuk keluar dari rumah. Kami menyusuri jalan- jalan yang tumpah ruah oleh orang- orang yang ingin melepas lelah setelah seminggu berkutat dengan pekerjaan mereka. Biasanya kami berhenti di warung dekat taman kota. Warung bakso rusuk yang sudah lama menjadi langganan kami. Aku hobi sekali makanan pedas, sehingga aku tidak pernah lupa menambahkan beberapa sendok sambal ke dalam kuah bakso di hadapanku. Belakangan aku sering diperingatkan olehnya, lelaki itu melarangku memasukkan sendokan sambal yang ketiga, dan seterusnya. Dia rajin mengomel untuk kebiasaanku yang dinilainya sangat tidak sehat itu. Kami bisa menghabiskan waktu berjam- jam di warung bakso favorit kami ini. Kami tidak langsung pulang setelah melahap semangkok bakso dan segelas es jeruk yang rasanya belum ada tandingannya. Kami mengisi malam minggu dengan bersendau gurau sambil memperhatikan orang- orang di sekeliling kami dan mengomentarinya.


Di setiap perjalanan, aku selalu duduk di sampingnya. Sesekali memperhatikan dengan seksama caranya menarik dan menurunkan rem tangan. Sebenarnya aku pengin bisa menyetir, menggantikannya duduk di belakang benda berbentuk lingkaran itu, memutarnya ke kanan dan ke kiri. Namun, yang bisa kulakukan saat ini baru memegangi tangannya ketika menggerakkan gagang hand persneling ke arah angka satu, dua, tiga, dan kembali ke angka satu lagi. Aku membantunya membunyikan klakson mobil untuk sekedar memperingatkan bahwa lampu merah sudah berganti hijau agar barisan mobil dan motor di depan mobil kami segera melaju kembali.


Ayah di Solo sering bertanya kepadaku lewat telepon, kenapa aku nggak membeli motor sendiri, kata beliau biar sederhana asal bisa untuk alat transportasi, berangkat ke tempat kerja, pulang, pergi ke mall, pergi ke bank, pergi ke supermarket, pergi ke designer sepatu langgananku, ke tempat latihan gym dan ke tempat yang lain- lain yang sering aku tuju sendirian, beliau takut anak gadisnya ini akan merepotkan pacarnya sendiri setiap hari, setiap detik. Kadang akupun terusik oleh saran ayah yang sangat masuk akal, tapi setiap kali aku ungkapkan niatku membeli motor, lelaki itu melarangku. Dia bilang, sebaiknya uangnya ditabung dulu, nanti kalau sudah terkumpul banyak, baru dipakai beli mobil. Dia hafal betul dengan impianku yang satu itu, sebuah Mobil Suzuki Swift warna biru. Sementara itu, katanya aku bisa menumpang mobilnya dulu, kalau nggak, aku bisa menggunakan jasa bus Transjogja. Kalau dia sudah ngasih wejangan kayak gitu, aku tinggal menuruti saja kata- katanya, aku anggap dia seorang konsultan manajemen dalam hidupku. Kurasa ada bagusnya juga memanfaatkan ilmunya selama tiga setengah tahun kuliah di Fakultas Ekonomi.

***
Hari ini hari Minggu, hari yang sangat cerah. Sepertinya mentari sedang bermurah hati membagikan sinar bahagia untuk belahan bumi Jogjakarta. Disini aku juga sedang menyimpan bahagia, duduk di sebuah bus Transjogja yang longgar dan bersih, yang membawaku melaju hendak bertemu sang kekasih.



Kekasihku masih lelaki yang sama, hari ini dia tidak bisa menjemputku langsung dari rumah kos, sehingga aku memutuskan naik Transjogja untuk menemuinya di sebuah toko buku terbesar di Jogjakarta. Kabarnya dia juga ada meeting di convention hall terdekat. Sekalian aku juga butuh mencari buku disana, untuk referensi.



Di bawah teduhnya atap bus Transjogja, aku melayangkan pandangan keluar jendela kaca, menatap hiruk pikuk lalu lintas sepanjang jalan utama Jogjakarta. Transjogja memang tidak bisa dilepaskan dari Kota Jogjakarta. Bus yang selalu berwarna hijau segar ini merupakan salah satu alternatif jasa transportasi yang disediakan oleh Pemerintah Jogjakarta untuk umum. Sebagai salah satu penggunanya, sudah pasti aku merasa sangat beruntung. Aku sangat beruntung karena meskipun aku tak mengamini saran ayah untuk beli motor, toh dengan Transjogja aku tetap bisa pergi kemana-mana sendirian saja, maksudku tanpa kekasihku itu, karena kadang dia juga sangat sibuk dengan pekerjaannya. Disamping itu, aku juga masih bisa menyalurkan hasrat travelingku, meski hanya berkeliling daerah Jogja, at least, I’m satisfied. Aku, bahkan dengan kekonyolanku, pernah naik bus dengan jalur khusus ini sampai pangkalan paling ujung, hanya dengan membayar satu tiket seharga tigaribu rupiah. Fantastis dan ngirit abis, sekaligus, sekali lagi, menerapkan ajaran dari lelaki bergelar Sarjana Ekonomi itu.



Kusadari bahwa lelaki itu telah banyak mempengaruhiku. Dia selalu memperhatikan gaya hidupku, sangat detail. Dia banyak memberiku masukan positif serta senantiasa memperingatkanku untuk meninggalkan kebiasaan- kebiasaan negatif, termasuk pemborosan. Awalnya memang sangat berat, karena pada dasarnya aku termasuk cewek yang boros. Untung dia sabar, dia sering menasehati cara mengelola keuangan dengan baik.

Meskipun sekarang aku mulai menikmati setiap saran positif yang diberikannya padaku, di sisi lain, aku juga pernah mengalami pengalaman unik berkenaan dengan hasrat belanjaku versus kesabaran lelaki itu. Pernah suatu ketika, seperti biasa, dia mengajakku pergi ke mall. Saat itu mendekati tahun baru, sehingga di sebagian besar areal mall tersebar tulisan “SALE” dan "DISCOUNT UP TO 70%", etalase dipenuhi berbagai barang menarik, manequine yang seakan ikut melambai, dan lidah para SPG sepertinya sudah sangat terlatih mengucapkan mantra laris manis. Sementara, sebagai satu kesatuan dari pemandangan ganjil hari itu, tersebutlah aku hanya menatap keriuhan mall dari sudut foodcourt. Bagaimana tidak, setiap kali aku berniat membeli barang- barang di etalase, pun dengan uangku sendiri, lelaki itu akan menghadapkanku dengan satu pertanyaan, “KAMU BENAR- BENAR BUTUH NGGAK, LING??”. Sialnya, aku memang tidak bisa mendebatnya kala itu karena faktanya aku memang tidak begitu membutuhkan berbagai barang sale yang menarik itu. Alhasil, dengan muka kusut menahan kecewa, aku turut saja ketika kemudian dia mengajakku duduk- duduk di sudut foodcourt sambil menikmati ice cream cone yang dibelikannya untukku. Kuakui lelaki itu hebat, terbukti dia bisa menciptakan obrolan yang menarik untuk mengembalikan moodku yang sudah pasti sangat buruk. Segarnya obrolan dan manisnya ice cream cone sukses menghilangkan lapar mata di pusat belanja kala itu, sekaligus satu kemenangan untuk kesabaran lelaki itu.



Transjogja yang kutumpangi berhenti di halte paling dekat dengan toko buku yang kumaksud. Aku segera turun dan menelepon lelaki itu. Beberapa kali kudengar bunyi “tut” kemudian suaranya menyahut dari seberang. Untuk kesekian kalinya aku mendapat sebuah sapaan selamat siang yang manis darinya. Setelah cukup jelas menanyakan posisinya, aku segera memutus sambungan telepon. Aku segera melangkah masuk ke dalam toko buku. Tempatnya luas, sejuk, dan nyaman, sangat betah jika berlama- lama berada di dalam. Musik jazzy yang easy listening juga diperdengarkan sebagai backsound. Kalau suasana sudah sangat mendukung seperti ini, jangan heran si empunya mobil warna hijau tua itu betah sekali disini. Jangankan disediakan kursi untuk duduk, nggak ada kursi pun bakal dia jabanin berdiri seharian sambil melototin lembaran- lembaran kertas yang penuh tulisan itu.



Berkebalikan dengan aku yang lebih suka menulis, lelaki itu memang sangat suka membaca. Pilihannya selalu jatuh pada buku- buku motivasi serta buku- buku berbau marketing. Sebenarnya aku pengin sekali bisa menyukai buku- buku motivasi, ada saja caraku membacanya; kubaca sebelum tidur, kubaca setelah makan, kubaca ketika buang air besar, dan usaha- usahaku membaca di tempat nyaman yang lain, tapi sayangnya semua caraku itu selalu saja gagal, entah karena aku sulit menjaga konsistensi membaca, atau sulit memahami maksud dari setiap kalimat di dalam buku- buku itu.



Meskipun aku suka menulis, tapi aku jarang membaca, tentunya pengecualian untuk membaca majalah dan koran; It’s a must! Rekor membacaku sangat buruk dan satu- satunya orang yang terus menyemangatiku untuk suka membaca ya lelaki itu. Dia rajin sekali pergi ke toko buku, membaca buku motivasi dan membelikannya satu untukku. Dia memberi waktu sekitar dua sampai tiga minggu padaku untuk menyelesaikan satu buku setebal batu bata, kemudian menyuruhku menceritakan isi buku itu kepadanya. Cara yang efektif meski mungkin bagi sebagian orang terkesan sedikit memaksa. Belakangan tampaknya dia mulai faham dengan keinginanku, dia tidak lagi membelikanku buku motivasi yang hanya sering kugunakan untuk bantal tidur, sekarang dia lebih suka membelikanku novel atau buku- buku kumpulan cerpen. Sebagai bocoran, sebenarnya berangkat dari hal itu pula aku semakin tertarik dengan dunia menulis dan tak tanggung- tanggung aku berani menggantung sebuah cita- cita menjadi seorang penulis handal.



Setelah beberapa menit sempat takjub melihat display novel bestseller di samping tempatku berdiri, tiba- tiba lelaki itu muncul dari arah berlawanan denganku. Kulihat penampilannya masih rapi, maklumlah dia kan baru saja selesai meeting. Terkadang aku merasa kasihan juga dengannya, hari ini kan hari libur, sementara dia masih saja melengkapi urusan pekerjaan. Demi masa depan yang cerah, it’s okay lah. Senyumnya terkembang.



Selama berjam- jam lelaki itu menemaniku menyusuri rak- rak buku sampai aku menemukan sebuah buku yang kucari. Cukup sulit menemukan sebuah buku referensi yang kucari, namun karena ada dia, akhirnya buku itu berada ditangan. Aku melempar senyum padanya, terimakasih telah membantu.

Setelah menyelesaikan urusan dengan toko buku, kami memutuskan untuk mencari tempat makan. Kali ini dia menghentikanku di sebuah restoran fastfood terkenal dengan simbol M – nya. Mc. D. Dia memesan Big Mac, French fried dan dua gelas softdrink. Ini special order, menu yang selalu mengingatkanku pada detik- detik awal mula lelaki itu menyatakan cinta padaku. Beberapa tahun yang lalu dia menyatakan cintanya di restoran fast food yang sama, bedanya dulu di Solo, sekarang di Jogjakarta. Dimanapun tempatnya, yang pasti momen itu nggak terlupakan. I’m lovin’ it!



Setelah melahap sebuah burger raksasa, seperti biasa, sesi berkomentar pun dimulai. Kata lelaki itu, burgernya nggak seenak biasanya. Padahal aku sama sekali nggak merasakan ada yang aneh dengan rasanya. Menurutku sama saja. Ahay! Salah satu julukan yang kuberikan untuknya adalah “komentator”. Sangat tepat, karena lelaki itu memang jago memberi komentar. Aku sering protes untuk kebiasaannya yang satu itu, tapi dia selalu saja berkelit, katanya; semua nggak akan maju tanpa adanya komentar. Meskipun tidak semua komentar itu baik, tapi justru komentar yang jelek yang sering membawa kita ke arah yang lebih baik, tentu saja dengan perbaikan maupun perubahan. Benar juga sih.



Lelaki itu paling semangat berkomentar mengenai rasa masakan, dia sangat peka. Sialnya, bahkan nggak ada pengecualian untuk masakan yang dibuat oleh ceweknya sendiri. Sesekali di waktu senggang, aku memang suka belajar memasak. Aku membaca resep di majalah dan browsing dari internet. Sudah banyak resep yang kucoba praktekkan. Dari yang paling simple sampai yang rumit. Dan kesemuanya selalu dinilai oleh lelaki itu, dari nilai D minus sampai A minus. Sangat menyedihkan, karena sampai detik ini aku belum pernah mendapat komentar “sangat enak sekali” alias A plus- plus. Namun bagaimanapun hasilnya, aku suka kejujurannya menilai masakanku, meski nggak selalu enak, tapi itu kenyataan, sehingga aku harus terus berimprovisasi agar kelak aku bisa mendapatkan nilai yang kuinginkan. Bagiku tidak hanya untuk sebuah nilai masakan, untuk hal yang lain, komentar sangat diperlukan, tentu saja untuk sebuah hasil yang lebih baik dan sesuai harapan.




sandiwara cinta dua insan bersahaja :)
ikha oktavianti

0 comments:

Post a Comment