29.5.10

my life today

Sore ini lelaki itu menjemputku setengah jam lebih lama dari biasanya. Aku sendiri yang sengaja memintanya agar berangkat menjemput setelah hujan reda. Namun tampaknya setelah menunggu cukup lama, hujan tidak juga berhenti, akhirnya dia nekat datang menjemputku di tempat kursus. Padahal aku tahu, dia masih demam, batuk menggigil, indikasi flu dan radang tenggorokan.
Dia datang dengan Honda Megapro hitam lengkap dengan mantel yang menutupi badannya. Kepalanya praktis tertutup helm warna merah yang kuhadiahkan padanya beberapa bulan lalu. Ketika kulihat dia sudah sampai di pelataran tempat kursus, aku berlarian ke arahnya, mendekat, dan memboncengnya. Layaknya lelaki yang tanggap, tanpa komando dia menyalurkan bagian belakang mantel yang dikenakannya.

Sepanjang perjalanan pulang, rintik air hujan berlompatan di aspal jalan raya. Aku mengintipnya di balik mantel yang hanya muat menutupi sebagian badanku. Kurasakan air hujan sudah mulai menembus celana jeansku, lambat tapi pasti mulai membasahi jaket merah yang kupakai. Tanganku melingkar di pinggangnya, pinggang lelaki itu, memeluknya erat. Kami berdua saling diam, terlarut dalam kegaduhan suara mesin motor dan hujan yang semakin deras.

Agak ganjil memang, setiap hari di bulan November ini kota Solo serasa semakin panas, panas sekali, hingga meskipun hujan sesekali datang mengguyur, tetap saja tidak mengurangi suasana gerah yang menyelimuti. Kondisi cuaca yang labil seperti ini jelas berdampak signifikan terhadap kekebalan tubuh. Banyak orang dengan mudah terserang flu atau demam. Sama halnya dia, sudah kubilang beberapa kali padanya untuk menjaga kesehatan, menyuruhnya sedikit mengurangi porsi minum es, mengingat cuaca benar- benar tidak sedang bersahabat, ditambah aktifitasnya yang padat akhir- akhir ini. Aku sangat kuatir, terlebih seminggu terakhir dia rajin sekali pergi dan pulang dari kota satu ke kota lainnya, menyelesaikan semua urusan pekerjaan yang kesemuanya tidak lepas dari istilah deadline.

Lalu dengan kondisi kesehatannya yang sekarang, tidak banyak yang bisa kuperbuat untuknya kecuali mengingatkan waktunya untuk minum obat, mengingatkannya sarapan, makan siang, makan malam, beristirahat, dan tentu saja mendoakan agar dia segera sembuh.

Hujan sore ini setia menemaniku sampai depan garasi rumah. Sedikit merasa tidak peduli dengan kesehatanku sendiri, aku mengacuhkan tubuhku yang serta merta telah terbalut oleh baju basah. Aku sengaja lebih dulu menyelamatkan tas yang berisi buku- buku kuliah, karena kupikir satu tablet vitamin C akan lebih cepat merangsang peningkatan fungsi antibodi di tubuhku. Dan harga sebotol vitamin C akan jauh lebih murah daripada harga fotokopian buku kuliah.

Harga buku kuliah memang sangat mahal, itu faktanya, sekaligus merupakan alasan yang tepat bagi seorang mahasiswi dengan tingkat ekonomi pas- pasan sepertiku untuk lebih baik membolos jam kuliah ketika hari mulai gelap karena tertutup mendung. Secara eksplisit, aku takut buku kuliah akan basah jika kehujanan dan aku benci harus susah payah mengumpulkan uang lagi untuk membeli fotokopiannya.

Belakangan buku kuliah memang menjadi sangat sakral bagiku, mungkin juga bagi semua mahasiswa semester tujuh. Bahkan tidak berlebihan jika kukatakan secara terang- terangan bahwasanya aku lebih semangat untuk membaca buku kuliah daripada membaca kitab suci agamaku sendiri. Sungguh merupakan pelanggaran yang kulakukan secara sengaja dan aku harap secepatnya bisa segera sadar dari godaan duniawi ini. Fenomena ini terjadi, tidak lain dan tidak bukan karena semakin hari persaingan prestasi mahasiswa kelas linguistik semakin terlihat sangat mencolok di mataku. Kontan saja hal itu menimbulkan satu tekanan tersendiri bagiku.

Demi mencari solusi dari masalah yang satu ini, aku memutuskan untuk ikut kursus atau les tambahan setiap sore, meskipun sebenarnya tidak memberikan banyak kontribusi secara material ilmu, tapi banyak memberikan kontribusi secara spiritual. Bayangkan saja, setelah seharian sekelas dengan mahasiswa yang sangat expert membahas linguistik yang ruwet, sorenya bisa diimbangi dengan kursus tambahan yang notabene hanya memberikan materi yang lebih mirip dengan materi anak SMA, tentu saja dengan para mahasiswa yang kebanyakan baru lulus dari SMA. Rasanya sangat seimbang karena dalam jangka waktu sehari aku bisa merasakan menjadi expert dan beginner.

Meski merasa sedikit tertekan, tapi di sisi lain aku sangat menyukai berada di komunitas mahasiswa linguistik. Mereka semua mempunyai ambisi yang besar untuk segera menyelesaikan studi di Fakultas Sastra, fakultas yang terkenal dengan istilah mahasiswa abadi. Mereka mengadakan belajar kelompok untuk membahas materi dan tugas kuliah. Mereka beramai- ramai berkunjung ke perpustakaan untuk sekedar melihat- lihat judul skripsi dan mendiskusikannya bersama- sama. Kegiatan yang demikian itu jelas memberikan dampak yang sangat baik bagiku, pelan tapi pasti motivasi belajarku meningkat.

Malam hari, setelah selesai mandi dan melakukan ritual lainnya, aku segera masuk ke dunia privasiku. Seperti biasanya, aku selalu hidup di kedamaian kamarku. Kamar di lantai dua yang di desain khusus oleh ayah dan dibangun tepat di bagian atas garasi rumah.
Aku bersiap menyalakan laptop sembari menyeruput wedang jahe hangat yang kubuat sendiri. Kebiasaan seperti ini kadang membuatku merasa terisolir dari kehidupan di sekitar luar rumahku. Ibunda sering memperingatkanku untuk sesekali keluar rumah, membaur dengan tetangga, mengikuti rapat karang taruna, mengikuti pengajian malam ahad, jagong, dan yang paling menyebalkan adalah disuruh ikut kerja bakti. Dulu aku memang aktif ikut kumpul- kumpul kayak gituan, tapi semenjak terjadi kejadian yang sangat merugikanku, aku tidak melanjutkan aktifitas- aktifitas bertetangga itu lagi. Bukannya aku tidak mempunyai jiwa social dengan embel- embel toleransi, hanya saja aku merasa lebih nyaman mengurung diri dan membiarkan dunia malamku habis di kamarku sendiri.

Ketika malam mulai larut, aku selalu menyediakan waktu untuk kembali berdua dengannya, dengan lelaki itu. Meski hanya lewat sambungan telepon tanpa kabel, tapi obrolan kami tetap terasa segar dan hangat. Kami membeli kartu perdana dengan tarif bicara yang paling terjangkau untuk kantong kami. Kebetulan kami mempunyai ponsel cadangan yang masih bisa kami gunakan untuk telepon berjam- jam. Aku memintanya bercerita, tentang keadaan rumahnya, tentang aktivitasnya, atau bahkan sesekali memintanya menyanyikan lagu nina bobo yang mengantarkanku memasuki alam mimpi. Tidak jarang kami berdua terlelap tanpa memutus sambungan telepon. Kuanggap tidak jarang, karena hampir setiap pagi aku mendapati ponsel mati karena baterai dropped.
Begitulah aku menutup hariku yang sederhana, meski sangat monoton, tapi aku senang menjalaninya. Aku bahagia. Aku bahagia hidup dengannya.


***
rewrite - repost from my personal note 

ikha oktavianti

0 comments:

Post a Comment