4.6.10

PEMIMPIN PILIHANKU

PEMIMPIN PILIHANKU

         Sejak tadi aku sudah menyiapkan beberapa pertanyaan yang akan kuajukan kepada Bu Ari, guru PPKn di kelasku. Mungkin, bagi yang sudah beberapa kali mengalaminya, pertanyaanku bisa saja dianggap sepele. Tapi bagiku yang baru menapaki usia ke-17 –yang notabene kali pertama bisa ikut berpartisiasi dalam Pilpres- semua masih tampak samar-samar.
          Ya, sampai saat ini aku belum punya gambaran sama sekali tentang figure  presiden yang akan kupilih besok. Sudah beberapa kali aku mencoba mencari tahu tentang sosok-sosok tokoh pasangan calon presiden dan wakil presiden itu lewat berita di Koran atau di televisi. Namun, sungguh sulit menentukan figure mana yang paling pas kucoblos besok. Semuanya sama baiknya.
        Bel berdentang dua kali menandakan saat istirahat tiba. Bu Ari mengakhiri pelajaran dengan senyum ramahnya, kemudian mengemasi buku-buku di meja dan melangkahkan kaki meninggalkan ruang kelasku. Dengan segenggam pertanyaan, aku mendekati Bu Ari. Kukejar dia yang berjalan menuruni tangga.
        “Selamat siang, Bu. Bolehkah saya bertanya sedikit?”
        “Boleh. Apa ada pelajaran yang nggak kamu ketahui, Nis?” jawab Bu Ari sambil menoleh ke arahku.
       “Bukan, Bu. Saya ingin bertanya tentang penggunaan hak pilih dalam Pilpres besok. Begini Bu, bulan lalu usia saya sudah memasuki 17 tahun. Berarti bulan September nanti saya bisa ikut nyoblos dong, Bu?”
       “Iya, kamu bisa ikut andil dalam Pilpres tahap terakhir nanti. Agar kamu bisa ikut nyoblos, kamu harus minta kartu pemilih tambahan ke kelurahan dimana kamu tinggal, melalui Ketua RT.”
       “Lalu, kira-kira siapa yang pantas dicoblos, Bu?”
     “Saya nggak bisa menentukan pilihanmu. Saya juga tidak bisa mengharuskan kamu memilih Capres yang saya pilih. Saya hanya bisa menyarankan, pilihlah Capres yang sesuai dengan hati nurani kamu, Anis.”
       “Maksudnya apa, Bu?”
       “Anis, untuk mewujudkan cita-cita Negara yang berdemokrasi, Pemerintah Indonesia memberi kesempatan kepada rakyatnya untuk memilih figure pemimpin yang pantas memimpin negara ini. Yah…melalui Pilpres itulah kita dapat memilih langsung siapa yang kira-kira pantas memimpin negara ini. Sesuai dengan hati nurani kita, maksudnya adalah menurut kata hati dan pengamatan kita selama ini, sudahlah tentu kita punya seseorang yang klita pandang mampu untuk menduduki kursi presiden, bukan karena janji-janjinya yang muluk atau karena kecantikan atau ketampanannya lho…,” Bu Ari tersenyum sambil mengelus kepalaku.
      “Lalu karena apa, Bu?” aku minta penjelasan beliau yang lebih rinci.
     “Yah…mungkin karena kepandaiannya dalam mengatasi suatu masalah atau karena peran sertanya dalam membangun negeri ini.”
     “Lalu dari mana kita bisa tahu sejauh mana peran serta para Capres dalam membangun negeri ini, Bu?”
    “Bukankah ada sarana informasi yang sekarang sudah merambah ke masyarakat luas, Nis? Misalnya melalui TV, radio, Koran, majalah, atau bisa juga dari internet, bukankah bagi gadis seusia kamu sudah sangat familier dengan media internet? Makanya kalau ke warnet jangan hanya membuka situs porno yang bisa merusak jiwa kamu yang masih remaja atau situs yang tidak ada manfaatnya, tapi bukalah situs yang menyediakan informasi tentang perkembangan pemerintahan negeri kita. Ya, kan?”Bu Ari kembali melempar senyum ramahnya kepadaku, aku sedikit kena sentil atas keterangan Bu Ari, karena aku sering ke warnet untuk sekadar chatting dan berkirim email bahkan sesekali membuka situs-situs yang nggak ada manfaatnya sama sekali buatku.
       “Iya juga sih Bu, kenapa saya harus susah-susah cari sumber informasi mengenai para Capres ya, Bu. Padahal kan di sekeliling kita sudah banyak menyediakan informasi mengenai para Capres pada Pilpres nanti, lagipula sekarang banyak selebaran yang memberitahukan tentang visi dan misi para Capres…”aku menyadari kebodohanku.
       “Nah…itu juga penting. Kita juga harus mengetahui visi dan misi para Capres kita, misalnya tentang bagaimana cara mereka membawa negara ini di kemudian hari…tapi jangan langsung terhanyut di lautan janji yang digembar-gemborkan…kita juga harus pandai-pandai menilai mana janji yang sekiranya bisa dipercaya jangan asal pilih karena janjinya yang bisa membuat kita terlena, tapi kita juga harus memikirkan akan sisi buruknya.”
      “Wah ternyata menggunakan hak pilih itu juga harus hati-hati ya, Bu? Salah-salah kita sendiri yang akan menuai hasilnya,” aku sedikit berkesimpulan.
      “Nah, sekarang sudah paham bukan?”
     “Iya Bu…makasih ya Bu…berkat penjelasan Ibu, saya jadi tahu cara memakai hak pilih secara tepat.”
    “Iya…sama-sama. Lagipula sudah sepantasnya saya sebagi guru menjelaskan apa yang tidak diketahui muridnya,” Bu Ari kembali mengelus kepalaku.
       Kami berpisah di lantai bawah karena Bu Ari melangkah menuju kantor gur u, sementara aku meneruskan langkah menuju kantin Mbok Yah untuk membeli donat meses kesukaanku. Hingga tak terasa waktu istirahat sudah habis dengan ditandai berdentangnya bel dua kali. Kulangkahkan kaki menuju ke kelasku untuk menerima pelajaran selanjutnya.
      Legalah hatiku setelah menerima penjelasan dari BU Ari mengenai prosedur pemilihan presiden secara langsung yang baru kali pertama dilangsungkan di negaraku. Semoga besok aku dapat menggunakan hak pilihku dengan baik dan benar sesuai hati nuraniku.


Tulisan ini telah diterbitkan oleh
harian Solopos
pada Minggu Wage, 19 september 2004
Ditulis ulang oleh penulis asli:
Ikha Oktavianti

0 comments:

Post a Comment