4.6.10

Bahasa Hati

BAHASA HATI

         Hari yang melelahkan!. Setidaknya hanya untuk jalan – jalan mengelilingi kompleks. Itu bukan karena aku sok manja atau suka mengeluh, tapi memang kaki ini masih terasa sakit. Patah tulang kakiku ini yang membuatku pincang dan tak tahan untuk sekedar berjalan apalagi berlari – lari kecil mengitari kompleks.
         Aku yang salah. Seminggu yang lalu, ketika gadis kecil yang manis itu sedang berlatih sepeda-sepedaan, aku nekat memboncengnya di sedel belakang, karena belum bisa mengendalikan keseimbangan, akhirnya aku terjatuh. Setelah dibawa ke dokter, ketahuan juga bahwa kaki kananku patah. Sakit rasanya, apalagi ketika pria berbaju putih dan berkacamata tebal itu memijat-pijat sendi-sendi kakiku. Aku bahkan tak ingin membayangkannya lagi. Setelah menjalani perawatan intensif, kini aku harus menjalani terapi berjalan. Setiap pagi dan sore, aku harus berjalan atau terkadang berlari kecil mengitari kompleks. Tentu saja aku tidak melakukannya sendiri, karena aku selalu ditemani gadis manis berambut keriting itu.
          Gadis manis yang baik hati itu bernama Anis. Dia adalah teman bermainku sejak kecil. Bahkan sejak ibuku meninggal beberapa bulan yang lalu, dia menjadi bagian yang paling penting dalam hidupku. Aku tinggal satu atap dengannya, meskipun kami tidak ada hubungan keluarga sama sekali. Terkadang kami bermain bola, bermain piano, jalan- jalan, menonton film dan masih banyak lagi, semuanya kami lakukan bersama- sama. Aku sangat menyayanginya, dan aku yakin dia pasti juga menyayangiku. Aku selalu memperhatikannya, kulitnya yang berwarna sawo matang, matanya yang indah, rambut keriting yang dikuncir dua, dan tentu saja tawa riang yang selalu menghiasi wajah cantiknya. Anis tidak pernah menyakitiku, dia bahkan tidak pernah membentakku. Anis selalu berbuat baik padaku begitu pula orang tuanya. Mama dan papa Anis sudah seperti orang tuaku sendiri.
         Hari ini agaknya tidak hanya terasa melelahkan bagiku, tapi juga bagi Anis. Setelah menemaniku jalan-jalan berkeliling kompleks, kulihat wajah gadis kecil itu pucat dan matanya sayu. Namun sayang, aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa menatapnya dengan penuh iba. Bahkan aku tak mampu sekedar mengucapkan kata-kata anjuran agar dia istirahat. Huft! Memang aku tidak bisa dan tidak akan pernah bisa melakukannya.
        Malam hari, suara gaduh di ruang tengah membangunkanku. Sayup – sayup kudengar suara tangis. Sebenarnya aku ingin bangkit dari tidurku dan memastikan apa yang terjadi. Lagi- lagi, kesakitan ini membuatku pincang, aku tak bisa bangkit dengan mudah. Aku harus berusaha keras untuk bangkit dan menapak hingga akhirnya aku bisa berjalan ke ruang tengah. Tapi aku terlambat, ketika aku tengah tertatih – tatih menuju ruang tengah, semua telah sunyi kembali. Aku kecewa tak menemukan apapun di ruang tengah dan aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Hanya terakhir kudengar suara mobil yang sedang digas, mulanya keras kemudian suara itu menjauh dari rumah dan menghilang.
         Esok hari, ketika kubuka mata, kurasakan sedikit berbeda dari biasanya. Ketika bangun, aku tak merasakan hangatnya sentuhan Anis. Bahkan aku juga tak mencium aroma crunch dan susu putih kesukaannya. Pagi ini, rumah ini benar- benar sunyi, semua terdiam, aku juga tak mendengar suara mama, papa, atau Anis. Semakin penasaran dengan apa yang terjadi, aku segera berjalan menuju seluruh kamar, tapi hasilnya nihil. Tak kutemukan siapapun dirumah sebesar ini.
         Siang hari, ketika aku duduk terpekur memandang keluar jendela, kulihat mobil ambulans memasuki halaman rumah dan diikuti mobil dinas papa. Kulihat dengan seksama, beberapa dokter keluar pertama dan membuka pintu belakang ambulans. Astaga! Siapa itu yang sedang diusung menggunakan tandu? Kain putih menyelimuti seluruh tubuh hingga menutup wajah. Aku segera bangkit dan menuju ruang tengah, aku tak ingin melewatkan apapun. Kulihat kali ini papa membuka pintu dan masuk rumah pertama kali. Matanya sembab, diikuti beberapa lelaki yang mengusung tandu, dan terakhir mama yang wajahnya masih berurai air mata. Sekarang, aku bisa menebak tubuh siapa yang berselimut kain putih itu. Anis.
         Aku hendak menjerit ketika mama benar-benar membuka kain yang menutup wajah gadis itu. Mama menangis meraung-raung. Tapi aku hanya bisa mendekat, mengendus, dan mengelus – eluskan bulu lembut di tubuhku ke wajahnya. Sebentar kemudian aku tahu, gadis itu telah pergi untuk selamanya. Anis meninggal karena penyakit kanker darah yang selama ini seolah tak pernah membebaninya. Aku diam. Aku tak bicara. Tapi aku tahu, melalui naluri dan bahasa hati, gadis kecil yang tubuhnya kini tergolek dingin dan kaku itu tahu apa maksudku. Yaa, meskipun aku hanya seekor anjing dan dia manusia. Dan aku yakin, dia akan damai dalam tidur panjangnya. Kini, aku hanya bisa berucap dalam hati dengan bahasa yang tak akan pernah terungkapkan , selamat tinggal teman kecil. Semoga Tuhan menerimamu disisi-Nya. Amin.


*****

Inspirasi, 
01/06/2010
Jalanan sore di komplex perumahan New Garden,
Anjing lucu dan gadis kecil berkuncir dua :)

0 comments:

Post a Comment