4.6.10

Guruku Cakep Sekali !


GURUKU  CAKEP  SEKALI !

          Aku masih sibuk dengan sarapanku, ketika motor dinas ayah sudah siap mengantar ke sekolah baru. Aku baru sepekan yang lalu pindah Solo karena urusan dinas ayah. Oleh karena itu pula, aku harus pindah sekolah.
          Di sepanjang jalan menuju sekolah baru, mulutku masih komat-kamit menghafalkan kalimat-kalimat perkenalan nanti. Hingga kurang lebih sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di depan gerbang masuk SMA Widya Dharma. Sebenarnya bukan perkara besar bagiku untuk melafalkan kalimat-kalimat perkenalan dengan baik. Pasalnya pengalaman sering pindah sekolah membuatku semakin lancar bermain kata-kata perkenalan. Tapi kali ini mungkin beda dari yang lalu, karena kali ini aku pindah sekolah di SMA yang notabene adalah sekolah unggulan di kota Solo.
          Bel masuk sekolah kemudian berbunyi. Aku kembali merapikan baju seragam dan menata rambut panjangku yang sedikit acak-acakan karena angin dalam perjalanan menuju sekolah tadi. Tanganku sedikit gemetar ketika Bu Niar memanggilku untuk masuk kelas dua F.
          “ Anak-anak, di kelas ini akan ada siswa baru, namanya Eska. Tapi untuk lebih jelasnya saya akan memberikan waktu kepadanya langsung untuk berkenalan dengan kalian. “ Bu Niar menyilakanku untuk mulai bicara.
          “ Selamat pagi teman- teman! Namaku Ni Made Eska. Aku berasal dari Bali. Aku pindah ke Solo karena urusan dinas ayahku. Semoga teman-teman mau menerimaku untuk belajar bersama di SMA Widya Dharma ini. Terima kasih”. Sebuah perkenalan yang singkat dan berhasil menyulap suasana kelas menjadi riuh. Tapi kemudian Bu Niar segera meredakan suasana kelas.
          “ Anak-anak! Bagi yang ingin berkenalan dengan Eska lebih jauh, saya berikan waktu nanti pada jam istirahat. Dan sekarang silakan Eska duduk di meja nomor dua itu, disamping Anis.” Bu Niar kembali tersenyum ramah kepadaku sambil menunjuk kursi kosong disamping gadis manis berkerudung yang juga menyambutku dengan senyum ramahnya.
          Hingga kemudian bel istirahat berbunyi. Anis menawarkan sebuah roti lapis legit yang baru saja dia ambil dari tasnya. Sebuah awal perkenalan yang tidak kuduga sebelumnya. Sepanjang waktu istiharat aku bersama Anis di dalam kelas saja. Menikmati lezatnya lapis legit dan bercerita lebih jauh tentang diriku.
          Sabtu yang mulanya kupikir akan membosankan, karena ada pelajaran olahraga. Diawali dengan ganti baju olahraga. Huh! Mana seragam olahragaku belum ada. Kami kemudian berkumpul di lapangan untuk melakukan pemanasan. Dan………….ah! pekerjaan yang paling membosankan karena harus menunggu pelatih olahraga yang katanya masih mengambil peralatan lompat jauh. Apa ?! Lompat jauh ?! Olahraga yang sangat aku benci, karena tahun lalu tulang kakiku retak saat pengambilan nilai lompat jauh di sekolah yang lama.   
          Sebentar kemudian, sosok tegap itu kudapati berlari kecil kearahku dan siswa yang lain yang sedang melakukan pemanasan. Badannya atletis, dan kedua mata elangnya tajam menatap ke arahku.
          “ Maaf, saya sedikit terlambat. Tapi…”, sebelum suara lantangnya selesai berucap, aku sadar sedari tadi dia menatapku yang memakai kaos oblong biasa, bukan seragam seperti teman-teman yang lain.
          “ Saya siswa baru, Pak! Dan saya belum mendapat seragam olahraga yang baru”, aku menjawab tatapannya. Tatapan yang seketika itu pula menghilangkan kebencianku pada pelajaran olahraga dan lompat jauh.
          Lelaki berusia sekitar duapuluh lima tahunan, yang berpostur tubuh atletis dan memiliki mata elang tajam itu ternyata adalah guru olahraga di sekolah baru ini. Guru yang membuatku bersikap lebih semangat saat mendengar kata ‘olahraga’.
          Anis membuyarkan lamunanku dengan tawa cekikikannya itu.
          “ Duh, lagi mikirin yang disana atau yang barusan hayo…….?”, Anis menyindir.
          ‘Yang disana’, maksud Anis adalah Petra, pacarku yang kini berada di Bali. Sedangkan ‘yang barusan’ , maksud Anis adalah Pak Abi, guru olahragaku itu. Pertanyaan yang membuat tawa kami berdua pecah.
          “ Sudahlah ngaku aja, sudah banyak siswi yang klepek-klepek karena tatapan guru muda itu….kamu juga kena, kan ? “, Anis meneruskan kata-katanya ditengah tawanya. Aku masih tertawa lepas, diantara menghindar dari pertanyaan Anis dan menyadari kebenaran kata-kata Anis.
          Siang yang panas, di halte depan sekolah. Aku berdiri menunggu bus yang seharusnya menggantikan ayah untuk mengantarku pulang. Siang ini ayah ada rapat penting di kantornya, jadi tidak bisa menjemputku pulang sekolah, sebagai gantinya ayah memberiku ongkos naik bus.
          Tapi kemudian Pak Abi berhenti tepat di depan halte tempat aku berdiri.
          “ Menunggu bus atau jemputan, Eska ?”, tanyanya tiba-tiba.
          “ Menunggu bus, Pak! Karena ayah nggak bisa jemput” jawabku sedikit canggung.
          “ Mau pulang bareng saya ?”, Duuh…..benarkah aku tidak bermimpi ? Benarkah guruku yang cakep itu menawariku boncengan di motornya ?.
          “ I… iya,Pak! Tapi … apa nggak ngrepotin nih, Pak ?” , jawabku gugup. Senyumnya mengembang diikuti gerakan tangannya yang mengisyaratkan agar aku segera membonceng di motornya.
          Hmm…perjalanan pulang sekolah yang menyenangkan. Karena ternyata Pak Abi sangat ramah sekali. Di sepanjang jalan, dia bercerita tentang berbagai tempat yang indah di kota Solo ini. Hingga akhirnya pintu gerbang rumahku tampak di depan. Setelah berterimakasih kepada Pak Abi, aku segera masuk rumah.
          Hari demi hari kulalui dengan senang di sekolah baru ini. Belum lagi cerita tentang Pak Abi yang sering mengantarkanku pulang. Dan wajah cakep Pak Abi, yang tidak begitu saja larut dalam hari-hariku. Cerita-ceritanya, senyumnya dan apapun yang ada dalam dirinya selalu terekam dalam ingatanku. Sepertinya sudah ada benih-benih asing yang tumbuh subur di hatiku. Tapi kadang aku tersadar akan posisiku saat ini. Aku murid dan Pak Abi adalah guru olahragaku. Tidak mungkin aku menyatakan perasaanku pada Pak Abi, sekali lagi aku adalah muridnya. Meskipun aku sering membuat puisi untuknya, tapi puisi itu hanya kusimpan dalam laci belajarku.
          Hingga suatu hari, Pak Abi tidak kutemui di sekolah. Kudengar sudah tiga hari dia absen mengajar. Padahal sebelumnya Pak Abi tidak pernah absen mengajar. Dalam hatiku sering berkecamuk tanya besar mengenai keadaannya. Jangan-jangan Pak Abi sedang sakit dirumah…
          Pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan kubiarkan terlalu lama menghinggapi hatiku. Kemudian aku memutuskan untuk pergi kerumah Pak Abi bersama Anis. Yah…sekedar memastikan keadaan Pak Abi.
          Setelah melalui jalan yang lumayan jauh, akhirnya aku dan Anis sampai di rumah bercat biru itu. Ada taman kecil di depan rumah, memberi kesejukan tersendiri bagiku. Anis mencocokkan alamat Pak Abi dengan rumah di depan kami. Kemudian Anis mengangguk pasti.
          Setelah memencet bel, kulihat sosok Pak Abi membukakan pintu dari dalam.
          “ Hey, Eska dan Anis….” , kalimatnya masih menggantung tapi jabatan tangannya memastikan bahwa keadaannya baik-baik saja. Pak Abi menyilakan kami masuk.
          “ Bapak baik-baik saja, kan ? kami kemari karena ingin memastikan keadaan Bapak. kenapa Bapak nggak masuk sekolah, Pak ?”, Anis memulai pertanyaannya. Sebelum Pak Abi menjawab, tiba-tiba terdengar lengking tangis seorang bayi dari dalam rumah. Pak Abi tersenyum…
          “ Itu dia…sebentar ya…”, kemudian Pak Abi masuk. Sebentar kemudian keluar lagi, kali ini Pak Abi menyambut kami dengan seorang bayi di pangkuannya.” Tiga hari yang lalu istri saya melahirkan…”.
          Tubuhku bagai terkulai lemas. Aku tercengang. Ternyata Pak Abi sudah punya istri dan tiga hari yang lalu dia menjadi seorang Bapak. Anis menatap kearahku…masih dengan tatapan ibanya Anis mengusap punggungku.
          “ Kalian mau menggendongnya ?”, Pak Abi kembali tersenyum ramah. Tapi kali ini senyuman itu tidak istimewa lagi bagiku.
          Setelah berbasa basi kemudian Anis tau diri, dia segera berpamitan dan mengajakku pulang. Di perjalanan pulang, Aku dan Anis tak mengeluarkan sepatah katapun. Kami terlarut dengan pikiran kami masing-masing, tentunya masih dengan topik guruku yang cakep itu.


                                                                            
                                                                             
Written by : Ikha Oktavianti

0 comments:

Post a Comment