16.6.10

nitemare

03.40-  070110


“Plak” malam ini aku terbangun karena sebuah tamparan dari ibu.
Masih dengan tatapan yang sayup-sayup aku mulai membuka mata. Samar- samar aku menemukan wajahnya telah menempel sangat lekat dengan wajahku. Kudapati Bapak juga setengah berdiri di samping ranjangku. Kedua orang yang paling kusayang ini wajahnya saling mengkerut. Mereka tak henti menanyakan sesuatu yang terjadi dalam tidurku. 

Jam dinding menunjukkan pukul 03.30 dini hari. Lidahku kelu. Aku sadar benar telah bermimpi tentang apa. Aku sangat ingin bercerita. Tapi aku takut mereka akan salah mengartikannya, sama dengan isi kepalaku. 



Aku masih susah payah mengatur ritme pernapasan, meskipun secangkir air putih yang disodorkan Ibu telah habis dalam tiga kali tegukan. Dan lidahku masih saja kelu.

Seketika dalam waktu yang hampir bersamaan, ponselku berdering. Aku segera meyakinkan itu adalah bunyi alarm yang memang sengaja ku setting setiap hari untuk jadwal salat malam. Ya. Mungkin sudah sekitar dua atau tiga minggu ini aku selalu mengaktifkan alarm agar bisa bangun pada sepertiga malam. Biasanya memang aku bangun, mematikan alarm, kemudian dua tiga kali menelepon nomer telepon yang aneh itu, setelah itu aku bergegas salat, dan kembali tidur. Tapi malam ini aku terbangun bukan karena alarm. Aku telah terbangun beberapa menit sebelum alarm menyala. Aku terbangun karena telah bermimpi. Dan malam ini alarm itu menyala sia-sia.

Tiga kali menelepon nomer aneh itu dan selalu berakhir dengan jawaban dari operator ‘the number you are calling is busy’, aku merasa yakin pemilik nomer telepon itu sudah bangun. Sedangkan malam ini, aku tidak segera bangun untuk sholat, karena aku sedang menstruasi. Beberapa menit mencoba tidur kembali, tapi nihil. Kemudian aku memutuskan untuk bangun dan menuju ruang tengah. Aku menyalakan komputer, setelah sebelumnya mengirim sms ke nomer yang aneh itu:

I’ve nightmare.. again.. n I’m very afraid.

Aku terjatuh dari tangga, beberapa tingkat turun. Tapi ketika sudah berada di bawah, dan aku membalikkan badan, aku tak melihatnya seperti tangga. Bentuknya sangat curam, mungkin lebih cocok disebut dinding. Dinding yang hitam kelam dan terasa sangat dingin.
Aku segera berlari, mencari seseorang yang ada disekitarku. Di seberang jalan lain, kutemukan ibu dan beberapa figur lain yang aku sendiri tak berhasil mengenalinya, mereka sedang berdiri di seberang jalan. Ibu melihatku dan aku segera menyeberang jalan untuk mendekatinya.

Sesaat aku sudah sampai di tempat ibu berdiri. Namun, aku justru kembali membalikkan badan, ada bisikan yang memaksaku menoleh kebelakang. 
Aku menatap kearah sebuah bangunan dimana aku baru saja terjatuh. Aku menatapnya dalam- dalam. Termangu hingga aku tak memperdulikan ibu yang masih berdiri dibelakangku.
Tiba- tiba di jalan aku melihat seorang ibu yang lain berteriak- teriak meminta tolong. Aku panik, begitu pula ibuku. 
Ibu yang lain itu baru saja berhenti dari sebuah kendara yang mungkin mirip seperti bus kota. Dia berteriak dan menangis karena seseorang telah merebut anak dalam gendongannya dengan paksa. Aku semakin panik dan ikut berteriak, meneriaki seseorang agar segera membantu ibu itu menyelamatkan anaknya. Teriakanku sukses membawa orang- orang lain masuk kedalam atmosfer kepanikan, dan tentu saja suasana menjadi semakin buruk. 
Kurasa aku benar- benar tak bisa menolongnya, meski kemudian setelah kondisi sekitar menjadi semakin panik, penculik itu mengembalikan anak ibu di seberang dan segera kabur. Aku mendengar dari orang- orang disekitarku, mereka bilang ibu itu hampir saja terhipnotis.
Aku mendekap ibu di sampingku. Sangat erat. Aku tak ingin menjauh dan hilang darinya.

Kemudian kami berdua memutuskan untuk berjalan ke suatu tempat yang terasa agak asing bagiku. Namun, justru disitu aku bertemu dengan seseorang yang belakangan kusadari sebagai pemilik nomer telepon yang selalu kuhubungi sepanjang sepertiga malam. Aku mendapatinya sedang menatap kearahku dan ibu. 
Kini aku berjalan ke arahnya. Dia tertawa kecil, hanya setengah dari tertawa terbahak- bahak.
Kulihat kini ibu tampak kecil di seberang jalan, beliau melambaikan tangan ditempatnya berdiri. Seperti merasa sudah nyaman ketika aku bertemu dengan orang dihadapanku saat ini, sehingga kemudian beliau berlalu.

Sekarang aku bersama orang itu. 
Dia tertawa sepanjang jalan meneriakkan kata- kata yang indah. Menghabiskan waktu yang cukup lama hingga kemudian kami berhenti di sebuah tempat yang aku sendiri tak mengenalinya.
Sejenak terasa nyaman bagiku berjalan beriringan dengan orang itu, hingga mendadak dia menyemprotkan air tepat ke wajahku. Sangat dingin. Dan aku gelagapan. 
Aku meronta, aku tak bisa melawannya. Aku tak tahu apa maksudnya. 
Aku berteriak. Semakin keras. Aku berteriak, memanggil ibu. Semakin aku berteriak keras, semakin hilang gema dari suaraku, dan semakin gelap, hingga tiada lagi cahaya.
***



Aku terbangun dan beranjak meninggalkan ibu dan bapak yang masih menungguku menceritakan apa yang telah aku alami dalam tidurku sampai aku mengigau memanggil namanya. Aku kembali menulis. Benar-benar sebuah mimpi buruk. Aku mengartikannya sendiri. Tapi aku tidak yakin, dan memang sangat tidak meyakini mimpi buruk itu. Aku ingin segera menyambut pagi. Aku tak ingin ketakutan ini muncul lagi.  
    
Ikha Oktavianti
diary of an ordinary

0 comments:

Post a Comment