SEGITIGA CINTA
Aku masih bingung dan nggak enak sama Ningsih, sobat karibku itu. Gimana tidak , soalnya pacarnya yang bernama Indra itu tiba-tiba penuh perhatian padaku. Berawal dari acara nonton bareng yang notabene acara hari jadian Indra dan Ningsih. Ningsih memperkenalkan Indra sebagai pacarnya. Acara perkenalan yang sewajarnya, Ningsih tampak dengan mesranya menggandeng Indra. Aku nggak tahu pasti siapa Indra. Tapi dari cerita Ningsih di kelas,yang hampir setiap hari bercerita membangga-banggakan Indra, aku yakin Indra adalah laki-laki yang baik.
Singkat cerita, entah angin apa yang membuat Indra begitu berbeda jauh. Ningsih bilang, akhir-akhir ini dia sering menanyakan aku. Aku paham bagaimana perasaan Ningsih saat itu. Sejak saat itu, aku khawatir Ningsih akan salah paham.
Aku semakin bingung dan serba salah , karena diam-diam Indra berani menulis surat cinta untukku. Tapi nggak pernah kuhiraukan , entah dia sudah nulis berapa kali dan aku nggak pernah membalasnya. Hingga pada suatu malam , ya Tuhan beraninya dia datang kerumahku, sendirian lagi.
“ Ada perlu apa kamu kemari ?! “, tanyaku sedikit gugup karena nggak percaya Indra akan senekat itu.
“ Kenapa surat-suratku tak pernah kau balas, Nis ?” katanya.
“ Tidak dan tidak akan pernah !!”, jawabku tegas.
“ Tapi, Nis …. “, rayunya.
“ Kau tahu kan , Indra, Ningsih itu pacarmu dan dia sahabat karibku, mana sekelas lagi! Jadi nggak mungkin aku mengkhianatinya. “, jelasku.
“ Kamu harus tahu , Nis. Aku sebenarnya nggak bahagia di sampingnya , dia itu orangnya keras kepala, suka ngatur, dan maunya menang sendiri, jadi rasanya aku nggak bisa jalan dengan dia seperti ini “, katanya.
“ Maafkan aku Indra, meskipun kau paparkan kejelekan Ningsih dihadapanku setinggi gunung, aku nggak mungkin merebutmu darinya. Apalagi aku sudah lebih lama mengenalnya daripada mengenalmu. Aku lebih tahu siapa Ningsih daripada kamu“.
“ Tapi, Anis. Bila aku disampingmu , aku merasakan lain. Aku bisa tenang dan damai disana”, kata Indra.
“ Tidak Indra, apapun alasannya aku tetap tak bisa menerimamu. Jadi tolonglah aku , Ndra. Jangan kejar aku dan jangan harapkan apapun dariku, aku tak ingin dan nggak mau terbawa dengan masalahmu.” kataku.
Kulihat Indra pergi dengan sejuta kekecewaan . Tapi itu lebih baik daripada aku bernasib sama seperti Ningsih. Dasar laki-laki.
Sejak saat itu , kita nggak pernah lagi bertemu. Komunikasi antara kita terputus, dan hilang begitu saja, tanpa meninggalkan sisa. Hal yang sama terjadi juga pada Ningsih, hal yang kutakutkan selama ini ternyata menjadi kenyataan. Ningsih sedikit demi sedikit menjauhiku. Hingga kejadian siang itu, aku melihat Ningsih duduk melamun menatap kearah luar kelas, dengan segenggam keberanianku aku mendekatinya.
“ Ning, boleh aku tahu kenapa akhir-akhir ini kamu menjauhiku, apa salahku, Ning ?Atau kamu baru ada masalah ? Ayolah , Ning. Cerita sama aku “, kataku.
“ Jelas ini gara-gara sikapmu sama Indra, Nis !! Kamu tahu kan siapa Indra ?! Dia pacarku, Nis ,tapi teganya kau rebut dia dariku !”, pernyataan Ningsih benar-benar membuat telingaku memerah. Mataku terbelalak. Kulihat buliran kristal-kristal halus mencair dari kelopak matanya. Ningsih mulai menangis. Aku semakin bingung, bagaimana cara menjelaskan semuanya kepada Ningsih.
“ Ningsih, aku tak pernah bisa mengerti apa maksud Indra selama ini. Dia datang kepadamu memberi sejuta harapan. Tapi, disisi lain , Indra datang kepadaku menjelek-jelekkanmu. Dia mengungkapkan rasa cintanya padaku lewat lembaran-lembaran kertas yang nggak pernah kuhiraukan. Tapi kini kau menjauhiku dan menuduh aku telah merebutnya darimu.” aku berusaha menjelaskan. Tapi aku nggak bisa melanjutkan kata-kataku, karena aku tak kuasa menahan air mata. Dadaku sesak oleh tuduhan Ningsih.
Namun ironisnya, sampai saat ini Ningsih masih nggak bisa percaya atas kejujuran yang telah aku ungkapkan. Seiring berjalannya sang waktu, Ningsih lebih memilih untuk menjauhiku. Tanpa ada sedikit waktu untuk merenungkan arti sebuah sahabat . Dan kini, aku pun hanya melewati jam istirahat bersama sepi. Tanpa canda tawa di antara aku dan Ningsih.
Oleh : IKHA OKTAVIANTI
0 comments:
Post a Comment