22.7.10

Pak Uwo in Memoriam (2 tahun sepeninggal beliau)

Kamis, 22 Juli 2010


Almarhum Pak Uwo


Kala itu tubuhmu masih tampak kekar, meski beberapa keriput sudah mulai nampak samar, namun tenagamu masih rosa. Setiap siang datang menjelang, kau menggiring kambing- kambingmu ke ladang kering di desa selatan. Sementara kambing- kambing itu merumput, kau babat ilalang yang menghalangi galengan. Kau tak pernah mengeluh, meski tubuh sudah membanjir peluh. 

Kau sebentar saja pulang, tepat saat tiba waktuku kembali dari menimba ilmu. Kau menjemputku dengan senyummu. Lalu serta merta mengajakku kembali ke ladang. Kau senantiasa menggendongku saat menyeberang sungai yang ketika itu airnya masih mengalir jernih dan segar. Selalu setelah itu, kau perlihatkan kepadaku kambing- kambing yang kau umbar di rerumputan. Kau pamerkan beberapa betina yang sudah hamil dan beberapa pejantan yang gemuk. Lalu kau menyuruhku menebak berapa jumlah anak yang akan terlahir dari betinanya. Sementara aku selalu menjawabnya dengan angka besar, tapi kau selalu menjawabnya sendiri sesuai dengan jumlah cucumu. Katamu, agar bila anak- anak kambing itu lahir, kau bisa membagikannya kepada mereka dengan adil dan bijaksana. Sifat yang selalu melekat di dalam dirimu.   

Kau pria yang engga banyak cakap. Kau begitu sabar. Hampir tak pernah kulihat setitik amarah di wajahmu. Kau sangat murah senyum. Bahkan, ketika aku mulai nakal karena diam- diam berani menunggangi salah satu kambing yang kau sayangi itu. Kambing itu kemudian lari tunggang langgang, menyeret tubuh kecilku jatuh di ladang. Kala itu aku benar- benar takut. Takut kau akan memarahiku. Namun tidak, kau malah secepat kilat menyabet kambing kesayanganmu itu dengan pecut yang selalu kau genggam. Kau menolongku. Kau membersihkan luka lecet akibat terseret- seret. Dan ketika mataku mulai berkaca- kaca karena kesakitan, kau segera melancarkan aksi jenakamu. Kau lantunkan tembang mocopat yang kau gandrungi itu. Kau usulkan beberapa parikan* yang hingga kini selalu terkenang di sebagian otakku.

Pitik walik sobo kebon.    (nanas!)

Sego sekepel dirubung tinggi.  (salak!)

Mbok e njahit, bapak e ngrokok, anakke nangis wae.  (sepur!)

Mbok e dielus- elus, anakke di idak-idak.  (ondo!)

Pakboletus.    (tipak kebo enek lele ne satus)

Jangan heran aku selalu semangat menjawab parikan yang kau tanyakan itu, dan aku selalu benar menjawabnya. Itu bukan kebetulan aku pintar, tapi karena kau selalu mengulangnya, kau sengaja sebutkan puluhan parikan yang sama. Kau selalu berhasil menyeka air mataku, tepat saat mereka  belum mengalir dari kelopak mataku. 

Kau pribadi yang hangat, benar- benar membuat siapa saja menjadi dekat. Kau sangat lekat dengan istri, anak dan cucu-cucumu. Kau selalu membuat kami semua berkumpul disana saat kau ingin memberi wejanganmu. Kau kumpulkan anak- cucumu di pelataran rumah, hanya beralaskan tikar usang, menatap bintang dan temaram bulan purnama. Kau hebat, kau membuat kebersamaan yang sederhana itu menjadi kebersamaan luar biasa dahsyat..

Kau tak pernah mengeluh, hingga usiamu semakin renta. Bahkan sampai penyakit itu menggerogoti ginjalmu. Hingga hari terus berganti, dan kau tak pernah mau merepotkan orang lain. Kau tetap diam, melawan pesakitanmu itu seorang diri. Sampai waktu itu, kau benar- benar tak kuasa lagi, kau jatuh tersungkur di kamar mandi. Tiada yang tahu menahu bagaimana kronologi kejadiannya. Yang jelas, sejak saat itu kedua kakimu tiada bisa menopang tubuhmu lagi. 

Hari- hari kau lalui bersama istrimu di rumah tua itu, namun, anak berikut cucu-cucumu selalu bergantian mengunjungimu, membantumu mandi, membersihkan rumahmu, menyuapimu, dan membantu perihal lain yang sudah tak mampu kau lakukan lagi.  Tubuhmu selalu terbaring diatas ranjang tua dengan kasur warna kusam yang sudah mulai mengeras itu. Tapi anehnya, selama itu, kau sama sekali tak pernah mengaduh, bahkan saat bidan desa menorehkan cairan revanol ke luka lecetmu. 

Hingga malam itu mungkin adalah puncak ketidakberdayaanmu. Kau muntahkan semua makanan yang terakhir disuapkan ke mulutmu. Wajahmu pucat, sangat pucat. Tubuhmu menggigil, sangat dingin. Kau berucap dalam lirihmu, kau ingin pergi ke tempat indah yang kau inginkan sejak dulu. Spontan, aku dan semua yang menyayangimu  kalang kabut. Pikiran kami semrawut. Tak menunggu lama setelah bantuan datang, kami segera mengangkat tubuh rentamu ke atas bagian belakang mobil pick-up pinjaman tetangga. Kami melarikanmu ke Puskesmas terdekat dengan tubuhmu yang tergolek lemas di bak mobil terbuka. 

Hingga saat ini, mataku terus menetes bila memoriku berputar mengingat kejadian malam itu. Aku dan semua yang menyayangimu sungguh tak bermaksud jahat padamu, atau pada tubuh tua yang kami biarkan kedinginan diterpa angin malam. Hanya saja, kala itu kami belum punya sarana angkut selain sepeda motor, dan mobil pick up itu satu- satunya sarana angkut yang kami dapatkan, itupun atas kebaikan hati salah satu tetangga. Kami sungguh tak berniat menyiksamu yang sudah disesaki luka. Kami hanya mengusahakan kau segera ditangani seorang yang ahli : Dokter.

Dengan kecepatan maksimal mengemudi, sepuluh menit, mobil pick up pinjaman itu sampai ke Puskesmas kecamatan. Tubuhmu segera digeledek menuju ruang darurat, bukan ICCU, karena di Puskesmas ini semua peralatan kedokteran masih sangat sederhana. 

Beberapa menit seorang perempuan ber-jas putih keluar dari ruang darurat. Semua pandangan mata menuju kearahnya. Dari bordir nama yang menempel di jas-nya, aku memastikan perempuan ini bukan dokter. Benar saja, perempuan yang tiba- tiba menjadi pusat perhatian itu memang bukan dokter, dia hanya perawat jaga yang kebetulan didaulat menanganimu. 

Perempuan ber-jas putih itu kemudian menyatakan kondisimu yang parah dengan segala hasil analisa yang dia kemukakan. Diapun mengaku tak bisa memberi banyak pertolongan secara langsung pada tubuh rentamu, hanya menyuntikkan suntikan penenang.  Kemudian kulihat tubuhmu digeledek keluar dari ruang darurat. Masih sangat lemas, sangat tak berdaya. Kemudian  setelah itu, perawat jaga memberi secarik kertas rujukan ke salah satu Rumah Sakit Umum Swasta di Surakarta, yang katanya lebih kaya akan peralatan kedokteran. 

Tanpa banyak menghabiskan kata, kami segera mengangkat tubuhmu kembali ke atas bak mobil terbuka. Kami jelas tak mau banyak kehilangan waktu. Tapi di saat kami genting seperti itu, justru mulutmu terbuka, seperti hendak berbicara. Lalu kami memutuskan untuk mendengar suara lirih dan gerakan bibirmu. Lagi- lagi, dengan isyarat bibir dan suara lirihmu malam itu, kau menyuruh kami yang menyayangimu ini kembali menuju rumah. Kau menyuruh kami membawa tubuh tuamu itu pulang ke rumah.

Sebenarnya kami tak sampai hati, ya benar, dari dalam hati,  kami semua ingin membawamu ke Rumah Sakit rujukan yang dimaksud oleh perempuan ber-jas putih yang mengaku sebagai perawat jaga tadi. Namun, di sisi lain, kami tak mau menjadi durhaka hanya karena tak mau mengabulkan permintaanmu malam itu. Akhirnya kami yang menyayangimu ini sepakat membawa tubuh tuamu pulang, dengan catatan kami akan carikan dokter  yang bersedia merawatmu secara home caring. Sehingga secara berkala dokter itu akan dijadwalkan  secara rutin berkunjung kerumah kecilmu untuk berkenan memeriksa dan menjaga kesehatanmu.

Sesampai di rumahmu, aku dan semua yang menyayangimu berbagi tugas. Yang lain mencari dokter, sementara aku menungguimu. Memandang kedua matamu yang di kulit bagian bawahnya mengantung, dan memegangi telapak tanganmu yang sudah sangat dingin. Berada didekatmu sungguh sesuatu yang selalu kurindukan sampai detik ini. 

Malam itu, selain terpaku memandang wajahmu yang semakin sayu itu, aku dan mereka yang menyayangimu bersama- sama melantunkan kalimat - kalimat Alloh. Kalimat suci yang kami harapkan bisa mengurangi beban pesakitanmu. Aku yakin, saat mendengarkan lantunan ayat suci kala itu, bibirmu terus bergumam menirukan. Meskipun terdengar sangat payah, tapi kau terus berusaha. 

Tapi semuanya terasa sangat cepat. Hingga sang ajal itu datang, dia menjemputmu menuju rumah indah yang selama ini kau inginkan. Kalimat Alloh yang kau dan kami lantunkan seakan menjadi kendara dalam usahamu mencapai kesana. Malam itu tepat pukul 10 , hari Selasa Wage, tanggal 19 Agustus 2008, dalam usiamu yang ke 82,  kau pergi kesana untuk selamanya. 

Semua tak mengira, kau akan pergi secepat ini menuju rumah indah yang kau maksud itu. Kau tampak ikhlas meninggalkan jasadmu yang selalu berhias senyum itu. Kau meninggalkan aku dan mereka yang menyayangimu dalam keharuan yang begitu dalam, meninggalkan kami dalam tangisan kehilangan. 



**
Berdasarkan perhitungan Jawa, persis malam ini, 21 Juli 2010, tepat 2 tahun kau meninggalkan aku dan mereka yang menyayangimu dalam perjalananmu menuju rumah indahmu itu. Dari rumahku ini, baru saja selesai terdengar lantunan ayat- ayat Alloh yang senantiasa mengenang 2 tahun kepergianmu. Semoga Alloh SWT menerima amal ibadahmu selama didunia. Semoga Alloh SWT memberikan rumah terindah yang sejak dulu kau inginkan. Amin ya Robbal alamin....

Pukul 23.15 malam, sepulang dari makam yang nisannya bertuliskan namamu, laptop kembali kugelar, jemariku kembali mementaskan tarian. Seperti biasa, masih diatas panggung yang berkotak- kotak penuh aksara : keyboard. Dan disinari backlight dari screen light. Kutulis kau dan sedikit dari banyak kebaikanmu disini, sebagai lembaran kisah yang akan selalu abadi.



LOVE U, grand pa..

LOVE U, Pak Uwo...


Makam Pak Uwo





Nisan Pak Uwo (Alm. Sumali Pawirorejo)


P.S :

* Galengan : gundukan tanah sebagai pemisah antara dua sawah, biasanya dipakai untuk berjalan para tani.


*  Parikan : tebakan Jawa

Pitik walik sobo kebon => NANAS

indonesia:

bentuknya seperti ayam yang terbalik, sering ditemui di kebun => NANAS







Diary of an ordinary

Pak Uwo in Memorian

mulai pentas : (23.15 ) 22 Juli 2010 s/d 23 Juli 2010 (dini hari)

Ikha Oktavianti



5 comments:

Ferrial Pondrafi said...

Amin. Semoga Alloh SWT memberikan rumah terindah yang senantiasa beliau inginkan. :-)

lagi2 kamu menulis tulisan yang bagus Ikha..
good job!!

btw, komenku sekarang dah bisa diisi lho.. heheh

ikha oktavianti said...

@pondra: Amin ya robbal alamin..

Terimakasih , Pondra :)

Ketika menulis yang ini, aku kembali pada kehidupan masa kecilku. Dan aku selalu merindukan Pak Uwo ku itu..

Oya, Ok! Langsung ke TKP dah :D

arifin betterwell said...

amien kha...
semoga arwah beliau dterima di sisi-Nya
dan nilai2 teladan yg diajarkan beliau bisa menurun k anak n cucu2nya,,
kalo aku belum pernah ngliat kakekku sperti apa,,, udah meninngal ktika ak masih bayi,,hhee

si tanpa raden ajeng said...

serasa ikut terbawa dalam masa kecilmu..
aku lg neng kampus, pas moco iki trus melu nangis.. gek sampingku kebak uwong len.. isin aku dikiro patah hati.. hahaha

ikha oktavianti said...

@ipin : terimakasih, pin :)
amin, semoga bisa meniru sifat Pak Uwo yang baik2 :)
wah, brarti aku lebih beruntung dari kamu ya, pin, bisa merasakan di momong sama kakekku sampe kuliah, hihihii
tapi jangan sedih, pin, kakekmu pasti bangga ngliat kamu udah mandiri kaya sekarang :)

@kartiniku: ah, terimakasih sayang..
hihi, masa sih sampe pada ngliatin?? jangan2 kamu emang patah hati beneran ?? hahahaha

kidding

missyusoomuaaahhh

Post a Comment