Rabu, 21 Juli 2010
Langit masih membiru, mentari masih malu- malu, dan seperti biasa, semangatku masih jauh dari layu. Masih dengan suasana pagi yang sering kudeskripsikan dalam potongan timeline hidupku. Aku kembali hadir menjalani peran menjadi seorang pengajar yang masih selalu belajar. Belajar pada alam, belajar pada keadaan, belajar pada kesalahan, serta belajar pada malaikat- malaikat kecil yang selama tiga hari dalam seminggu selalu kutemui itu.
Sehari sebelum hari ini, aku sudah mempersiapkan agenda mengisi kelas. Kelas kecil. Bukan, bukan luasnya yang kecil, tapi jumlah jiwa yang mengisinya tiap pagi sampai siang itu yang kecil, alias sedikit. Hanya lima belas jiwa saja ditambah aku atau kadang guru lain yang mengisi, jadi hanya enam belas jiwa. Ya, enambelas persis kalau semua jiwa periang itu datang. Karena sering sekali kelas menjadi benar- benar sepi gara- gara dua sampai tiga siswa absen. Tidak masuk karena sakit, karena keperluan keluarga, atau mungkin karena kondisi psikologis mereka masih labil, jadi berangkat sekolah masih sesuai hasrat dan syarat.
Setibanya di dalam kelas, aku menghitung jumlah sang periang yang hadir. Satu, dua, tiga.... dua belas. Hm, jadi hari ini aku akan melewati kelas tanpa senyum tiga periang. Nanda, Anas, dan Atikah..
Setelah menghitung, aku mengangguk sebagai kode, menyilakan sang ketua kelas memimpin doa. Dengan cekatan Wildan berdiri, lalu mengomando seisi kelas dengan lantang. Suasana kelas menjadi hening dan khidmat, hanya suara sang pemimpin melantunkan doa belajar.
Setelah menghitung, aku mengangguk sebagai kode, menyilakan sang ketua kelas memimpin doa. Dengan cekatan Wildan berdiri, lalu mengomando seisi kelas dengan lantang. Suasana kelas menjadi hening dan khidmat, hanya suara sang pemimpin melantunkan doa belajar.
Aku mendengar ketukan pintu sedetik setelah Wildan menyelesaikan komandonya. Aku bergegas membuka pintu. Kudapati satu lagi senyum sang periang di depan pintu kelas. Tahi lalat di alisnya memberi ciri sendiri selain matanya yang sipit itu. Anas. Ya, Anas akhirnya mau datang ke sekolah setelah Bapaknya bersedia memenuhi seabrek syarat yang diajukannya. Salah satu syarat mengharuskan Bapaknya menungguinya di depan kelas. Itu masih mending, kemarin dan beberapa minggu pertama ajaran baru, periang yang matanya sipit ini mensyaratkan semeja dengan Bapaknya. Sungguh pemandangan menggelikan karena setiap hari ada siswa usia dewasa di dalam kelas.
Tanpa menunggu perintah, Anas segera mencium tanganku. Peraturan tak tertulis yang tak pernah dilanggar. Anas kemudian masuk ruang kelas dan duduk di kursi pojok. Sepertinya dia sudah merasa cocok dengan kursi yang sedikit reot itu. Setiap kali dia bergerak, kursi itu akan berdecit dan ia menyukai suara decitan itu. Dulu aku sudah menyuruhnya duduk di kursi lain, tapi tetap saja dianggapnya tidak memenuhi syarat, sehingga ia kembali ke pojok, kembali pada kursi reot.
Hari ini aku membagikan buku yang kusebut buku kuning. Disebut demikian karena memang warnanya kuning. Sebagai bocoran, kuning adalah warna favoritku. Bukan kebetulan, karena memang aku sengaja menyetujui keinginan personal dengan memilih sampul berwarna kuning untuk membungkus buku bergaris itu. Ah, tenang saja, tidak akan ada yang protes, karena buku kuning itu ikhlas kubelikan untuk mereka dengan tabungan pribadiku. Harapanku, buku itu bisa digunakan oleh sang periang untuk mencatat pelajaran Bahasa Inggris sampai kelas berikutnya. Catatan dari kelas yang lalu akan sangat membantu, mengingat Bahasa Inggris adalah pelajaran yang dinamis.
Satu persatu, sang periang melangkah ke depan kelas setelah berhasil berhitung dalam Bahasa Inggris. One, two, three... dan inilah wajah- wajah sang periang setelah berhasil menyebutkan angka satu sampai sepuluh.
Senyum sang periang dengan buku kuning di tangan :) |
Buku Kuning :) |
-to be continue
diary of an ordinary
21/07/2010
Ikha Oktavianti
0 comments:
Post a Comment