19.7.10

Lelaki Kecil di Taman Kelas (Kerinduan Dani)


Kamis, 15 Juli 2010

Seperti biasanya, kisahku selalu dimulai sejak sang fajar terbangun dari peraduan. Jua seperti hari sebelumnya,  semua berawal sejak pagi menjelang.
 
Aku berangkat menuju tempat dimana aku sedikit mulai berani menggantungkan harapan masa depan generasi bangsa: Sekolah. Menyusuri jejalanan sunyi yang belum terjamah sampah kendara. Berselancar diatas skutermatik yang  kurasa suara mesinnya lebih ramah daripada suara hatiku sendiri. Jalanan masih melengang sepi. Hanya kulihat beberapa tani menggiring kerbau- kerbau kurus turun ke sawah mereka. Satu dua kicau burung gereja bersahutan. Kabut tipis sengaja kutepis. Udara dingin membelai ragaku hingga kaku. Aku  sangat akrab dengan kehidupan pagi desa kecilku ini.
 
Hanya dalam hitungan dua puluh menit bersama jalanan beraspal dibelai angin yang sembirit, akhirnya aku menjangkau sektor desa proyek tertunda. Sepuluh menit menuju pukul tujuh, aku memasuki gerbang sekolah tua yang bukan hanya warna catnya saja telah memudar, tapi tetumbuhan di halaman tampak layu tak berkembang. 

Aku menyandarkan skutermatik di parkiran. Beberapa wajah kecil sang periang sudah berkerumun di bawah akasia tua yang usianya mungkin sudah melebihi usiaku menatap dunia. Mereka menungguku. Mereka tersenyum melihatku sudah memasuki gerbang. Mereka tak sabar menungguku keluar dari parkiran. Mereka mengantri bersalaman mencium tanganku. Membagikan hangat yang mereka simpan di  balik genggaman telapak tangan mereka. Mengecup punggung tanganku dengan bibir kecil mereka yang tipis dan lembut. Rutinitas yang sarat kualitas.

'Assalamualaikum, miss Ikha', salam santun dari mereka menghangatkan ragaku yang tadinya kusebut telah kaku.

Aku tersenyum kembali untuk mereka. 'Waalaikum salam'.

Tak menunggu lama setelah aku memasuki kantor guru, bel sekolah berbunyi tanda dimulainya kegiatan belajar mengajar. Sesuai jadwal, hari Kamis aku mengajar kelas V, kelas juaranya gaduh.

Setelah sedikit brainstorming, akhirnya kelas pun dimulai dengan materi- materi baru. Sedikit ingin mengejar ketinggalan di kelas lalu. Tapi tetap saja: GADUH. Dan SABAR adalah satu- satunya jalan agar aku tetap kerasan berada di kelas yang setiap hari digaungi musik ketukan meja lengkap dengan celotehan anak- anak manja.

Yah. Ini suatu ujian seorang guru. Persis seperti ucapan ibu yang sejak bertahun yang lalu memberi wejangannya padaku. HARUS SABAR.

Sabar meski kadang suara kita disepelekan. Sabar meski kadang celotehan mereka keterlaluan. Dan aku hanya harus mengulanginya lagi untuk lebih sabar.

Karena buku panduan masih menumpuk di meja kantor guru, maka aku mohon ijin keluar kelas untuk mengambilnya. Seketika mereka bersorak gembira, sementara disudut hatiku merasa sedikit kecewa. Keluar kelas, menghela napas. Susah. Tidak mudah merapikan kelas yang semua penghuninya adalah bianglala.

Aku berjalan di sepanjang koridor kelas hendak menuju kantor guru. Namun, pijakan kakiku terhenti tatkala melihat sosok lelaki kecil di depan taman kelas. Ia nampak duduk berdampingan dengan seorang lelaki dewasa. Saraf penglihatanku bekerja optimal seperti biasa sehingga sosok lelaki kecil itu tampak jelas di mataku. Dani, ya, sosok kecil itu adalah Dani, dan lelaki dewasa disampingnya itu kemudian kuketahui sebagai Bapaknya.

Dani yang kemarin tak sempat menjawab panggilan absensi kelas bahasa Inggris. Siswa yang entah kenapa tiba- tiba kusesalkan ketiadaannya di kelas. Dani kulihat duduk meringkuk di taman depan kelas dua. Seragam yang ia pakai sesuai dengan jadwal seragam sekolah ini.  Tapi ia berada disana, diluar kelas, di taman depan kelas dua. Pandangnya tiada pernah lepas dari pintu kelas yang terbuka di hadapannya. Menatap ceria yang tergambar di wajah teman- temannya. Membuang sedikit rindu yang menumpuk didadanya. 

Aku berlari kecil mendekati keberadaan Dani. Ingin segera kurengkuh tubuh kecilnya itu. Dani, tak sabar aku melihat senyum yang disela giginya terdapat gigis itu. Kini ia kembali  ke bangunan tua ini, ke sekolahnya yang terdahulu. Kuelus rambutnya yang memerah kaku. Kuusap pipi dan dagunya. Namun, ia tetap diam. Mengunci mulut kecilnya ketat.

Bapaknya tersenyum, kemudian mengabarkan bahwa Dani tidak mau masuk ke sekolah rujukannya: SLB. Dan kebisuan Dani adalah kerinduannya pada sekolah ini. Aku mengiba, merasakan sepi yang ia rasakan ketika harus berpisah dengan teman- teman akrabnya. Dani masih diam. Hanya raut wajahnya yang bicara, hendak bercerita panjang tentang harapan yang sebenarnya telah ia simpan rapi di dalam sanubarinya.

Dani adalah siswa yang kuketahui terbelakang dalam hal potensi akademik. Meski sudah menghuni kelas satu selama tiga tahun, ia belum bisa menulis dan mengeja kata.  Berbagai metode belajar sudah diterapkan guru yang mengajar, tapi nihil alias tiada hasil. 

Setelah rapat guru dan wali murid, akhirnya tahun ini Kepala Sekolah memutuskan untuk memberi rujukan kepada Dani ke SLB. Mungkin sebelumnya aku sangat terpukul dan menyesalkan keputusan Kepala Sekolah itu. Tapi akhirnya aku bisa mengerti arti penting di balik keputusan beliau tersebut.


Keputusan memberi rujukan kepada Dani ini adalah keputusan yang terbaik. Terbaik dan demi kebaikan Dani. Meski secara fisik, Dani sehat jasmani dan rohani, namun Dani digolongkan sebagai siswa berkebutuhan khusus. Maksudnya, Dani sangat terbelakang dalam hal kemampuan intelegensi. SLB adalah solusi terbaik, mengingat guru di SLB dibekali dengan kemampuan mengajar anak berkebutuhan khusus seperti Dani. Bukan bermaksud mendiskreditkan kemampuan guru sekolah biasa. Hanya saja, sudah sepantasnya yang bersangkutan menerima fakta dengan lapang dada. Atas penjelasan ini dan demi kebaikan Dani, akupun merelakan kepindahannya ke SLB.  

Sayangnya pagi ini aku tak bisa berlama menguraikan kesedihan Dani.  Aku sudah cukup paham, lelaki kecil ini cukup lemah untuk harus kembali beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya yang baru. Tak banyak kata yang kuucapkan untuk membuat hatinya kuat dan tegar.  

Memori tentang Dani dan tatapan rindunya berhasil menjadi pembuka kisah haru di hari ini. Aku tak bisa berlama dengannya karena harus segera menuju kantor guru, mengambil buku panduan, dan kembali ke kelas lima. Kelas GADUH. 





Dani, bersama bapaknya di taman depan kelas
(candid diambil dari dalam kantor guru)




Dani (paling depan) saat mengikuti ujian semester kelas 1






Diary of an ordinary

15/07/2010

Ikha Oktavianti



8 comments:

MARYANIE said...

GOOD STORY mba cantik :)

hmm.. aku pengen deh ketemu sama Dani. i guess he has a big spirit, terlihat dari kerinduannya pada sekolah.

titip salam buat Dani ya mba cantik :)
eh iya, buat kelas GADUH-nya ttp bersabar loh bu guru :D

ikha oktavianti said...

thanks , nona manis :)

Dani, mungkin aku tak akan menemuinya lagi dalam waktu dekat ini, kecuali aku berkunjung ke sekolah rujukannya: SLB

Kelas gaduh, ah, semoga mereka tak akan selamanya begini, atau kalaupun mereka terus begini, itu hanya kemampuan lain yang mereka miliki. Dan benar katamu, nona.. aku harus tetap bersabar :D

Ferrial Pondrafi said...

Ikha. tulisanmu emang kwereeeennn..
love it very much! :-)
tetep nulis tulisan-tulisan yang kwereen ya..

btw, 1 bulan belakangan ini aku sering denger nama anak yang namanya Dani lho..
gak tau ini suatu kebetulan atau apa.. hehe

MARYANIE said...

hh.. sayang sekali ya mba. padahal aku pengen ketemu..
maybe someday i'll meet him :D


ya semoga saja begitu mba :)
jadilah Miss Ikha yang sabar menghadapi "kemampuan lain" murid-muridnya.

Ata Mevia said...

Hmmm….menggelitik perasaan
Bukan, bukan karena geli tapi menggeliatkan kembali sang rasa
Belajar menghidupkan semangat lagi berkiblat pada anak sekecil itu –yang berkebutuhan khusus-
Sepertinya saya kurang bersyukur jika dibandingkan dg Dani
Bu Guru harus lebih semangat dari Dani yaahh….
Dan mungkin kelas GADUH itu akan menjadi kebanggan ibuguru…lewat bimbingan ibuguru cantiikk…
Tertantang untuk mengubahnya menjadi kelas PRESTASI???

ikha oktavianti said...

@pondra : THANKS, Pondra :)

iya, tulisanmu juga kereeenn abis deh,tapi aku tadi komen kaga bisa, kenapa ya?
atau karena koneksi modemku kali ya?
besok kucoba lagi deh :)

Oya, kamu sering kedengeran nama DANI ?
jangan2 mantan suami MAia Estianti itu? hihi

@nona manis : Boleh boleh.. kapan2 kalo ada waktu luang, kita boleh saja berkunjung ke sekolah DAni, hehe

iya, SABAR, hanya itu yang dibutuhkan :)

@ Ata mevia : Iya, jeng, ayooo kembali semangat selesein kuliah, semangat WISUDA !
hehehe

wah, gud idea itu jeng.. kelas GADUH harus berubah menjadi kelas PRESTASI..
bagi tips yaa, jeng :)

tukang ngRestart" said...

cerita yang bagus,
dibalik kelemahan Dani pasti ada kelebihan yang tak terkira, dak bisa bayangin perasaan kedua orang tuanya,


ni da cerita,,;


Misteri Ibu

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya. "Ibu, mengapa Ibu menangis?". Ibunya menjawab, "Sebab, Ibu adalah seorang wanita, Nak". "Aku tak mengerti" kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat.

"Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti...."

Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya. "Ayah, mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas?" Sang ayah menjawab, "Semua wanita memang menangis tanpa ada alasan". Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.

Lama kemudian, si anak itu tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis.

Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan. "Ya TUHAN, mengapa wanita mudah sekali menangis?"
Dalam mimpinya, Tuhan menjawab, "Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga, bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan, dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap berulangkali menerima cerca dari anaknya itu.

Kuberikan keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah, saat semua orang sudah putus asa.

Pada wanita, Kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.

Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang, untuk mencintai semua anaknya, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai hatinya.

Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui masa-masa sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak?

Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling menyayangi.

Dan, akhirnya, Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya, air mata ini adalah air mata kehidupan".

Maka, dekatkanlah diri kita pada sang Ibu kalau beliau masih hidup, karena di kakinyalah kita menemukan surga.

Kasih ibu itu seperti lingkaran, tak berawal dan tak berakhir. Kasih ibu itu selalu berputar dan senantiasa meluas, menyentuh setiap orang yang ditemuinya. Melingkupinya seperti kabut pagi, menghangatkannya seperti mentari siang, dan menyelimutinya seperti bintang malam.

Semoga Yang Maha Kuasa mengampuni dosa-dosanya

ladyfie said...

dan cerita anda telah melelehkan air mata saya. . .

Post a Comment