14.7.10

Dalam Peran Bu Guru Cantik

Rabu, 14 Juli 2010


Aku sebenarnya tidak pernah bercita-cita menjadi guru, apalagi guru SD. Jurusan kuliah yang kutekuni sekarang pun bukan jurusan kependidikan. Namun aku tidak bisa mengelak saat takdir menuntutku ke tempat ini.

Alih-alih menjadi salah satu agen perubahan, sebagai ujung tombak terciptanya tunas-tunas bangsa berkarakter yang berkualitas. Generasi bangsa yang, semoga saja, kelak bisa membawa republik ini keluar dari keterpurukannya.

Aku tersadar dari fakta memilukan bahwa sekolah selama ini telah tereduksi sebagai tempat belajar hafal menghafal untuk mendapat nilai seratus. Pembelajaran yang terjadi hanya di ranah kognitif saja. Itupun di tataran yang paling rendah, knowledge. Padahal sebenarnya hakekat sekolah adalah tempat untuk belajar hidup. Tempat yang memberi kesempatan anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi unik anak yang kelak berguna untuk kepentingan survival mereka. Yang mengelola anak secara holistik, ya kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya. 

Tadinya aku hanya iseng- iseng main ke almamaterku ini. Namun kemudian guru- guru disini menawariku menjadi guru honorer bahasa inggris, menggantikan guru bahasa inggris terdahulu yang beruntung diterima menjadi PNS pada tes CPNS akhir tahun 2009 lalu. Mulanya aku menjadwalkan disini hanya sebentar saja, hanya sebagai pengisi waktu sambil mengerjakan skripsi. Tapi malah keterusan atau kecanduan. Anak-anak itu menjadi candu buatku. Begitu adiktif.

Hari ini, hari pertama mengajar setelah hampir 3 minggu liburan kenaikan kelas. Rasanya  sangat menyenangkan karena akan segera menumpahkanrasa kangen yang memuncak setelah lama engga bertemu sama anak- anak yang lucu-lucu itu. 

Jadwal kelas bahasa Inggris hari ini adalah kelas 1 dan kelas 2, sehingga aku agak santai. Santai karena engga perlu nyiapin materi pelajaran maksudnya. 

Jam pertama aku masuk ke kelas 1. Atmosfer baru, kelas baru, wajah- wajah baru, baju- baju baru, senyum- senyum kecil sang periang mengisi kelas. Namun sayang,  tahun ini sekolah  dasar di tempat aku mengajar ini hanya 10 anak yang mendaftar. 

Ya. Sepuluh anak sudah harus bersyukur, karena itu sudah cukup berarti untuk kelangsungan nasib sekolah ini. Bukan bermaksud menyamakan dengan cerita Laskar Pelangi nya Andrea Hirata lho ya.. karena faktanya emang begitu.  

Total siswa kelas 1 ada 15 anak, 10 anak adalah siswa baru, sedang 5 anak yang lain adalah siswa yang terpaksa harus tinggal kelas. Diantaranya adalah : Bagus, Bachtiar, Mukhlis, Dino, dan Fa'i. Siswa baru yang lain belum bisa menghapal semua, hanya seingatku yang paling menonjol adalah Bintang dan Dinda. 

Beberapa anak mengintip dari balik daun pintu, ketika aku berjalan di koridor sekolah  hingga memasuki ruangan kelas 1. Merasa sudah sangat mengenalku  dibanding anak- anak baru, anak- anak senior yang terpaksa tinggal kelas segera menyambutku dengan teriakan salam khas mereka. 

' Good morning, miss Ikhaaaa!!!'

Aku menjawab salam mereka dengan senyum lebar. Senyum suka cita karena rindu yang menumpuk di dada. 

'Good morning, students.'

Setelah mereka semua rapi duduk di kursi mereka masing- masing. Aku segera memulai kelas. Kelas hari ini masih berupa orientasi. Orientasi di mulai dengan perkenalan guru dan siswa baru. Aku sangat berhati- hati dengan kalimat yang kuucapkan. Salah- salah efeknya bisa fatal karena wajah- wajah baru yang polos ini kulihat masih awam dengan bangku sekolah. Bahkan ketika aku mengajukan pertanyaan tentang TK asal mereka, ada lebih dari separuh siswa mengaku engga mengeyam pendidikan TK.  Sedikit miris dan prihatin. Tapi masuk akal juga, karena berdasarkan informasi dari kanan kiri, emang biaya pendidikan TK lebih mahal sampai 5 kali lipat biaya pendidikan di SD. Belum lagi bila ada acara pesta kebun atau pentas seni. Bisa menguras biaya orang tua atau wali. 

Ini sungguh awal yang tidak bisa diremehkan, apalagi untuk mengenalkan pelajaran Bahasa Inggris. Aku berusaha menjalankan peranku sebaik mungkin. Aku mencoba lepas dari tamengku sebagai guru. Aku ingin berada di hadapan , di samping, dan di belakang mereka sebagai teman mereka. Teman yang menyenangkan buat mereka. Teman yang berusaha menemani mereka pada pijakan awal mereka belajar bahasa asing di hidup mereka: Bahasa Inggris.

Mereka semua sangat antusias mengikuti orientasi yang kuberikan. Namun, keceriaanku bersama mereka harus terhenti saat bel sekolah berbunyi, tanda sudah masuk jam  istirahat. Sebelum aku meninggalkan kelas, aku meninggalkan banyak pesan buat mereka, terutama buat pasukan lama yang terpaksa menghuni kelas ini lagi. Aku mendekati Bagus, Mukhlis, dan Fa'i yang asik dengan permen peluit mereka. Aku banyak memberi wejangan buat mereka. Ah , khas para guru. Sedangkan kepada Dino dan Bachtiar yang selalu asik dengan musik ketukan meja, aku hanya tersenyum sembari mengelus kepala mereka berdua. Emang butuh kesabaran luar biasa menghadapi tingkah polah dua biang kelas ini.

USAI jam istirahat, jadwal memasuki kelas 2. 
Aku kembali menemui anak- anak ceria yang selama beberapa bulan terakhir selalu mengisi pikiranku dengan suka yang menggila ditengah pusingnya mikirin skripsi. Refreshing yang kedua, yang sudah kutunggu- tunggu sejak tadi malam.

Ada satu yang engga bisa kulupakan, memori bersama anak- anak kelas 1 yang sekarang kelas 2 ini, yaitu sambutan heboh khas mereka, yang kelas senior mereka tidak punya. Dan lihatlah, hari ini mereka pun kembali melakukannya untuk menyambutku. Jadi, setiap aku sebelum memasuki kelas, ada anak yang bertugas mengintipku di balik daun pintu, kemudian ketika tau aku sudah berada radius 2 meter dari kelas, anak yang mendapat tugas mengintip itu akan mengomando teman- teman yang lain sekelas untuk segera menyiapkan diri dan berdiri. Lucu sekali gaya mereka, bisikan - bisikan yang masih bisa kudengar menyebut- nyebut namaku:

'Eh, Miss Ikha lho cah, Miss Ikha rawuh..' (rawuh: datang: jawa.red)

Hari ini yang bertugas mengintip kedatanganku adalah Bayu, seorang murid yang apabila menyebut namanya selalu mengingatkanku pada seseorang yang selalu membuatku rindu : Kekasihku. Sepertinya Bayu sudah sejak tadi mengintipku, hingga ketika aku memijakkan kaki di ambang pintu, dia segera berlarian dan mengomando teman- teman sekelasnya  untuk segera bersiap dan berdiri. Bayu dengan senyum khas yang menampakkan dua gigi kelincinya.

Setelah aku berada di depan kelas, berdiri disamping meja guru, mereka semua berteriak :

'SELAMAT PAGI CE'GU !!'

Persis akting salah satu kartun edukasi sarat makna 'IPIN UPIN' ketika sedang scene di kelas. Tentunya dengan gaya dan logat dialek Melayu yang mereka buat - buat persis adegan di film kartun yang berasal dari negeri Jiran itu.

Dulu ketika aku masih awal, aku belum begitu kenal dengan gaya seorang guru yang disebut Ce'Gu di film kartun yang mereka tiru itu, tapi kemudian aku menjadi penasaran, dan dengan penuh semangat aku mengikuti kartun 'IPIN UPIN' tersebut. Sehingga kemudian pada pertemuan- pertemuan berikutnya, aku selalu menjawab salam heboh mereka dengan gaya yang juga meniru adegan kelas di film kartun yang mereka maksud. Seperti pagi ini kusambut salam mereka dengan kalimat:

'Selamat pagi mured- mured...'

Tentu saja dengan logat dialek yang kusesuaikan dengan bahasa Melayu, bahasa guru di film kartun itu. Setelah itu, pasti suasana kelas seketika menjadi riuh. Riuh oleh tawa mereka yang mungkin menganggap guru di depan mereka ini juga narsis.

Aku tak banyak memberikan materi baru di kelas 2 ini, aku hanya mengajak mereka kilas balik pelajaran Bahasa inggris yang sudah mereka dapatkan sejak kelas 1. Aku sebagai pengampu, cukup gembira melihat sebagian besar siswa masih ingat dan hafal materi yang pernah kuajarkan kepada mereka. Canda tawa tidak pernah lepas di sela- sela sesi tebak- tebakan.

Namun, tiba-tiba Mahmud mengacungkan jari, dia bilang Rival menangis karena merasa perutnya mual serasa ingin muntah. Kelas segera kutenangkan, aku harus tangani Rival dulu. 
Sementara anak-anak yang lain kutinggal bersama tugas mencatat jadwal materi baru. Aku  memapah Rival ke kantor guru. Kuberinya segelas teh hangat yang seharusnya jadi jatahku. Melihat raut mukanya yang pucat, segera kuoleskan balsem ke lehernya, sambil sesekali kupijat pundaknya. Kadang kuelus kepalanya, persis seperti ketika ibu memperlakukanku saat aku sakit di rumah.

Rival saat di kantor guru, wajahnya memelas,
aku duduk disampingnya (ini hasil candid camera guru usil)

Air mata Rival terus menetes, hingga aku mengusapnya dengan beberapa lembar tissue yang  kuambil dari packed tissue yang selalu kubawa di tas. Ketika kutanya apa dia sudah sarapan, dia hanya mengangguk disela sela isaknya. Setelah cukup lama duduk di kantor guru, sepertinya Rival merasa sudah nyaman dan baikan. Sehingga kemudian kutanya dia, mau melanjutkan pelajaran atau diantar pulang untuk istirahat. 

Rival tak bergeming, tapi melihat raut mukanya, aku putuskan untuk mengantarnya pulang. Sehingga, aku segera memintakan ijin pulang kepada Bu Kepala Kelas dan guru Wali Kelas 2. Sembari menungguinya mengemasi buku dan tas, aku tuliskan beberapa Pekerjaan Rumah untuk siswa kelas 2 yang lain. Harapanku, saat aku menitipkan kelas kepada guru jaga,  murid- muridku yang lain engga rewel. 

Rumah Rival tidak begitu jauh dari sekolah, hanya berada di seberang jembatan besar Solo Baru. Untuk menghindari hal- hal yang tidak diinginkan, aku berniat mengantar Rival sampai rumah, aku ingin langsung pasrahkan anak laki-laki kecil hitam itu pada ibunya. Tapi sayang, berhubung ibunya engga ada, aku antar ke rumah budhenya yang hanya bersebelahan dengan rumahnya. 

Rumah budhenya seatap dengan warung makan gaya kampung. Lantainya masih tanah, dan beberapa perabot masak yang digantung ditembok tampak hitam legam karena angus. Keadaan yang memprihatinkan. Dengan santun aku menyerahkan Rival ke pada wanita paruh baya yang pakaiannya engga bisa dikatakan layak pakai. Dengan kepayahan aku memakai kosakata bahasa Jawa Kromo alus demi menjelaskan kronologis kejadian sampai kenapa aku harus mengantar kemenakan beliau untuk pulang. Hatiku kembali bergetar. Pemandangan yang benar- benar memprihatinkan.

Selepas mengantar Rival ke rumahnya, aku pun langsung kembali ke sekolah, kembali menemui anak- anak kelas 2 yang masih sibuk mencatat tugas rumah mereka. Tepat pukul 10 pagi, aku menyiapkan kelas untuk dipulangkan. Tapi ketika absen pulang, aku merasakan kehilangan saat menyebut nama : Dani.

Dani. Ya. Dani adalah salah satu siswa yang paling kusayangi, meskipun dia terlambat dalam  hal menerima pelajaran, tapi aku selalu memberinya semangat untuk maju. Dulu ketika masih kelas 1, ketika pertama kali masuk ruangan dan memperkenalkan diri menjadi guru baru, aku bertanya pada seisi kelas :

'Anak- anak, siapa yang di kelas ini belum bisa menulis hayoo?'

Lalu seisi kelas menunjuk ke arah Dani dan berteriak memanggil namanya. Seketika waktu itu, wajah Dani memerah, mungkin menahan malu. Aku pun merasa sangat bersalah dengan pertanyaan yang baru saja kuajukan. Sejak saat itu niatku sudah bulat, aku ingin memberi perhatian lebih pada Dani.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku tahu Dani adalah anak yang kemampuan akademisnya agak terganggu. Setiap kali diajak menulis, dia hanya bisa menulis huruf 'b'. Iya. Selalu huruf 'b', bahkan ketika harus menuliskan namanya. Di sisi lain, aku selalu mendampinginya. Setiap kali aku memberi pelajaran mencatat kosakata baru, aku duduk disampingnya, memegangi tangan, dan  kutuntun jemarinya menulis huruf- huruf yang menyusun sebuah kata sederhana seperti tertera di papan tulis. Dani selalu bangga  bila dia bisa mengerjakan catatannya sesuai di papan tulis, dia kemudian tertawa dan memamerkan pekerjaannya kepada teman-temannya yang lain.

Namun itu dulu, sekarang aku tak mendengar tawa Dani. Aku tak melihat sebaris gigi yang  diselanya terdapat gigis itu. Dani, kata siswa yang lain, sudah dipindah ke SLB. Di dalam hati aku sangat terpukul, aku sangat kecewa dengan keputusan orang tuanya yang memindahkan putra mereka ke SLB. Aku merasa sangat kehilangan salah satu murid yang kusayang. 


Diary of an ordinary
Dalam Peran Bu Guru Cantik :)
14/07/2010

Ikha Oktavianti


5 comments:

Free PDF Files said...

Salam kenal bu Guru :)

ikha oktavianti said...

kenal balik :)

Anonymous said...

sejak kpn Ik kw ngajar??
wah jan....

wah, eling muridku jaman di sd juga ki...
saiki wes do kelas 2 sma.
ternyata dah lama juga aq ngajar

untung di SD yo..
coba di smp or sma...

bs geger tuh murid2mu
dijamin 100% masuk ga ada yg absen tuh

ckakakakakak

*boy, linglingmu ngajar lho Boy...

ikha oktavianti said...

ngajar sejak Maret, mas..

ya rata- rata beginilah cerita guru SD,
kalopun ada yang beda, pastinya hanya sedikit, dan tentu saja masih banyak cerita unik lain yang bisa jadi inspirasi :)

lha wong di SD aja kewalahan kok mas, apalagi di SMP atau SMA, hihi

Anonymous said...

aku senang bisa membaca tulisan kamu dik. Keep moving forward! :) (oudine_spyro)

Post a Comment