6.10.10

My second world (anakku part 2)

Selasa, Lima Oktober 2010



Seperti biasa, hari Selasa anak- anakku udah ngumpul di teras rumah.

"Mba, mba Ikhaa, mba mba Ikhaaa....", panggil mereka bersahut- sahutan. 
Panggilan mereka itu udah seperti alarm bagiku, mengingatkanku untuk tetap ikhlas dan istiqomah mengamalkan ilmu yang kupunya agar bermanfaat bagi sekitar.
Setelah mematikan TV, aku berjalan menuju teras depan. Kudapati mereka yang sudah berdandan cantik- cantik dan ganteng. Sedangkan aku malah belum mandi, hehehe

Sebagaimana rutinitas, Si Phia dan si Lia segera menggelar karpet  untuk dipakai duduk bersama.

"Oke anak- anak, ayo berdoa dipimpin Atik", perintahku.

Tanpa mengulur waktu, Atik segera memimpin doa belajar diikuti olehku dan belasan anak yang duduk melingkar denganku:

“Robbi zidni ilman warzuqnii fahman” 
artinya: 
Ya Alloh, tambahkanlah ilmu pengetahuanku dan berilah aku kefahaman
  
"Siapa yang ngga datang hari ini?", tanyaku setelah mengamini doa sebelum belajar.

"Budi sama Abi, Bu", jawab Ayu yang sering latah memanggilku dengan sebutan Bu Guru. The word I've missed so much.

Kemudian setelah berdoa dan warming up, mereka belajar berkelompok sesuai kelasnya masing- masing. Mereka belajar dengan khidmat, sambil tetap aktif menanyakan kepadaku tentang materi pelajaran yang mereka tidak tahu.

___

Yah, FYI alias For Your Information, sejak bulan Agustus aku memang mengundurkan diri dari pekerjaan mulia memerankan guru cantik di almamaterku. Praktis, sejak bulan itu pula, aku sudah tak pernah lagi dipanggil "Miss Ikha" atau "Bu Guru Ikha". Meski sejak Agustus itu pula anak- anak dihadapanku ini datang menggeruduk rumahku, namun sesekali aku masih merindukan berada di dalam kelas dan memandangi satu persatu wajah polos yang duduk di kursi- kursi reot dan meja- meja tua itu. Aku benar- benar rindu mereka... murid-muridku di gedung sekolah tua itu.... memori tentang mereka tidak akan pernah hilang dari ingatanku, tentang keramaian mereka dikelas, kekompakan, keusilan, tangisan dan lain sebagainya.

Ah, mulanya memang aku mengundurkan diri menjadi guru honorer di sekolah dasar almamaterku karena aku berniat ingin fokus dengan skripsi, karena waktu itu Pak dosen bilang sekitar Agustus beliau balik ke tanah air.  Eh, ternyata beliau balik di tanah air cuma dua minggu doang, itu aja dalam rangka mudik lebaran, alhasil cuma bisa konsultasi sehari saja, setelah itu pak dosen hengkang lagi ke Luar Negeri. Yah, nasib...

Dan bagai mendapat petunjuk dari Allah agar aku terus mengamalkan ilmu, tiba- tiba saja beberapa tetangga mendatangi rumahku. Kala itu aku bengong aja, yang bener nih ibu- ibu dateng kerumah bareng- bareng, jangan- jangan mereka mau protes karena aku jarang ikut kegiatan kampung? Haha. 
 
Ternyata tebakanku salah, ibu- ibu yang datang itu dengan santun memintaku meluangkan waktu mengajari putra putri mereka tentang pelajaran sekolah. Meski dulu aku pernah juga didaulat menjadi guru TPA di kampung, tapi permohonan ibu- ibu itu membuatku terbelalak, sempat surprised juga sih, aku ini tipikal anak rumahan yang belakangan acuh terhadap lingkungan kampung, kok malah dipercaya mengajar anak- anak dikampung. Tapi surprisednya sebentar saja, karena aku langsung melontarkan deal hari- hari longgarku untuk putra putri mereka.

Alhasil, mulai saat persetujuan itu setiap Selasa dan Kamis belasan anak- anak menggeruduk rumahku, totalnya sekarang sudah 20 anak. Dari 20 anak tersebut ada yang masih duduk di kelas 1 sampai kelas 6 SD dan ada pula satu siswa kelas 1 SMP namanya Atik. Aku tidak sendirian saja mendampingi mereka, karena Ibundaku yang notabene adalah guru juga membantuku mengajari mereka tentang pelajaran yang sulit bagi mereka. Aku dan ibunda sepakat tidak menarik uang bayaran untuk kegiatan bimbingan belajar ini, yah, tidak perlu naive, mengingat di kampung ini kesejahteraan hidup masyarakat sangat kurang, orang tua dari anak- anak yang kuajar inipun rata- rata hanya bekerja sebagai buruh bangunan, buruh tani dan buruh jahit. Boro- boro buat bayar les, bisa membeli buku dan menyekolahkan anak- anak mereka saja sudah cukup. Fakta lain, di kampungku ini ada sekitar 60% anak drop out sekolah karena faktor ekonomi. Miris.

Aku, Ibunda dan Bapak serta adikku yang pemikirannya mulai kritis itu, kadang- kadang saling ngobrol tentang kemauan dan minat belajar anak- anak ini, sayang jika semangat mereka pupus hanya karena terpentok biaya. Lagipula kami yang menjadi saksi hidup perkembangan kampung ini seakan berkaca dan melihat cahaya baru di wajah anak- anak ini, kesadaran mereka tentang pentingnya pendidikan membuat kami berempat senantiasa menghela napas lega. Lega karena tiba- tiba saja kampung yang dulunya berstatus inpres desa tertinggal, sekarang sudah mulai tampak benih- benih kemajuannya. Sekedar info juga nih, bahkan sebagai salah satu bukti ketertinggalan masa lampau, sekolah dasar di kampung sini sampai sekarang masih sering disebut SD inpres. Padahal, kalau sampai sekarang orang- orang masih menyebutnya SD inpres sebenarnya itu salah, karena sejak beberapa tahun yang lalu, sekolah ini sudah diresmikan dan diganti nama menjadi SD WARU II. Yah, begitulah kadang- kadang, orang kampung sering latah dan sering missundertand. hehe

Kini anak- anak itu menjadi bagian lain di salah satu jalan di hidupku. Meski aku belum mampu menyediakan fasilitas penunjang belajar lain selain selembar karpet  untuk duduk dan buku bersampul kuning untuk mengerjakan latihan, tapi aku tetap berusaha mempertahankan semangatku juga. Semangat berbuat baik untuk sesama.  Semoga Allah SWT selalu memberi jalan untuk kebaikan. Amin Ya Rabbal Alamin :)


NB : Aku sengaja memberikan mereka buku kuning, sama seperti ketika aku mengajar siswa baru di sekolah lama. Semoga dengan buku kuning pemberianku, mereka akan terpacu semangat belajarnya :)

Oya, ayo tebak dari gambar diatas, aku pake baju apa hayoo... hehehe
  

0 comments:

Post a Comment