13.8.10

Sepotong Fragmen




Seorang lelaki datang dan duduk di kursi sebelah kiri saya, namun saya tak begitu memerhatikannya. Karena pandangan ini tengah tertuju pada sebuah fragmen yang tengah berlangsung di depan mata saya. seorang bapak tengah menyantap lezat makanan yang dibawanya, sedangkan anak lelakinya yang baru berusia sekitar tiga tahun mencoba meminta makanan Ayahnya. Sesekali sang Ayah memberinya sesuap nasi, kemudian anaknya bermain lagi. lelaki itu nampak sangat menikmati makan siangnya itu, sedangkan anaknya hanya disuapi beberapa kali saja.

“Tega sekali bapak itu ya, ia makan sangat banyak sedangkan anaknya hanya diberi satu dua suap saja. Kenapa ia tak mendahulukan anaknya makan? Orang tua kan biasanya berkorban, biarlah ia tidak makan yang penting anaknya makan lebih dulu…” suara di sebelah saya memecah konsentrasi pandangan saya pada adegan di depan. Rupanya bukan hanya saya yang menyaksikan adegan Ayah dan anak yang tengah menikmati makan siang di ruang tunggu B-6 Bandara Soekarno Hatta itu.

Saya menghela nafas, membetulkan posisi duduk yang sebenarnya sudah cukup nyaman. Saya menoleh ke sebelah kiri, ke arah suara yang barusan kemudian memberikan senyum kepadanya. Ia, lelaki yang belum lama datang dan duduk di kursi sebelah kiri saya itu ternyata ikut menjadi pemirsa adegan ayah dan anak di hadapan saya. Kali ini saya harus menjelaskan kepada lelaki di sebelah kiri saya tentang adegan yang tengah berlangsung itu.

“Sayang sekali, Anda melewatkan adegan terbaiknya dan hanya menonton potongan sisanya saja. Saya yakin jika Anda datang lebih awal, Anda akan tersenyum dibuatnya dan tak mungkin berkomentar seperti tadi…” ucap saya.

Kini giliran lelaki itu yang membetulkan posisi duduknya, wajahnya menghadap ke saya. “Adegan apa yang saya lewati?”

Sebelum lelaki itu datang, kira-kira tiga puluh menit berselang, seorang lelaki bersama anaknya tiba dan memilih tempat duduk di depan saya. Tak berapa lama sang Ayah membuka sebuah kotak makanan dan mulai menyuapi makanan ke anaknya. Perlahan dan penuh kasih sayang ia menyuapi, mulai dari lauknya, nasi, juga sesekali ia memberikan minum. Ketika anaknya tersedak karena makan sambil bicara, ia memberi nasihat dengan lembut, “habiskan dulu yang di dalam mulut, baru bicara ya nak,” kemudian ia menyodorkan air minum ke anaknya.

Anak lelakinya itu terbilang aktif, sambil makan ia berlari sana-sini. “Ayah lebih suka kalau Abang duduk,” Ah, sebuah kalimat positif yang mengagumkan. Biasanya orang tua yang sedang memberi makan dan anaknya berlarian akan berteriak, “Abang! Jangan lari-larian, Ayah capek!” atau “Duduk disini! Jangan lari-larian, ibu nggak mau nyuapin lagi nih…”

Sang anak tetap berlari meski ayahnya lebih suka ia duduk, namun tak sedikitpun ia marah. Tak berapa lama, anaknya tersandung kaki kursi dan jatuh. Makanan yang masih di mulutnya pun ikut tumpah keluar. Lagi-lagi ia tak marah, ia berdiri segera membangunkan anaknya. Kemudian dengan sabar memunguti makanan yang berserak di lantai. Anaknya menatap apa yang dilakukan ayahnya, “Kalau abang duduk dan diam, nggak akan jatuh begini kan…” anaknya mengangguk tanda mengerti.

Sejak itu, anaknya yang bertubuh gempal itu duduk diam dan membuat ayahnya lebih tenang menyuapi hingga makanannya habis. “jangan lupa, baca doa habis makan bagaimana?” tak lama, terdengar suara lucu melafazkan doa sehabis makan. Terbata-bata ia mencoba melafazkannya sambil dibantu ayahnya untuk mengingat bagian yang lupa.

Setelah itu, ayahnya berkata, “Abang sudah makan, sekarang gantian ayah ya yang makan…”

Nah, adegan inilah yang terlewati oleh lelaki yang baru datang dan duduk di sebelah kiri saya. Ia hanya melihat adegan sisanya yang tentu saja bukan bagian terbaik dari fragmen ayah dan anak di hadapan saya itu.




***

Kerap kita melihat sesuatu tidak utuh, kemudian mencoba memberi penilaian dari yang tidak utuh itu. Padahal kalau kita mau meluangkan waktu lebih banyak untuk mengetahui sesuatu lebih dalam dan lebih utuh, banyak hal yang akan mampu mengubah pandangan kita terhadap sesuatu, ataupun seseorang.


Sebagai perenungan saja, terutama untuk sahabat dekat saya yang merasa telah memilih orang yang salah dalam hidupnya. Yang kuat dan tabah ya sayang...
Sebenarnya sebaik-baiknya rencana adalah rencana Allah semata.
Dan memang suatu jalan yang telah ditentukanNya bila tiba sampai saat ini kau sampai di titik yang kau pijak sekarang. Bangkitlah dan tataplah dunia, ada rencana indah untukmu di depan sana....  
karna sesungguhnya ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, Allah membuka pintu kebahagiaan yang lain yang harus kau cari sendiri. 


maaf, kopas dulu
karena malam melarangku menulis banyak
karena malam menyita ide pikiranku dengan dua project besarku
-SKRIPSI
-The Holy Journey 2008 (Perjalanan Haji 2008)
Bismillahirahmannirahim
Wish me luck :)

0 comments:

Post a Comment