Ada satu hal yang benar- benar membuatku terusik beberapa bulan terakhir, lebih tepatnya enam bulan terakhir. Hal yang harusnya bukan menjadi masalah berat bagiku serta orang- orang disekitarku. KELULUSAN. Yah, siapa sih yang tidak ingin segera lulus dan menyandang gelar sarjana? Dan pertanyaan tersebut kemudian akan berlanjut sampai ke persyaratan lulus. Hm, agaknya memang inti dari tema yang mengusikku belakangan adalah persyaratan kelulusan itu sendiri, alias skripsi.
Bagi kalian yang sedang dalam proses mengerjakan skripsi, jadikan tulisan ini menjadi motivasi untuk terus berusaha menulis dengan baik. Atau setidaknya tulisan ini akan menjadi jawaban sekaligus penjelasan mengapa sampai sekarang aku agak 'ketinggalan' dalam hal kelulusan dibandingkan dengan beberapa teman DARI FAKULTAS SELAIN SASTRA INGGRIS. Aku memang sengaja mempertebal tulisan tersebut, karena selanjutnya aku akan berbicara berdasarkan konteks situasi dan kondisi.
Sampai sekarang, aku selalu bersyukur bahwa aku termasuk orang yang beruntung namaku terpampang di deretan yang diterima menjadi mahasiswa di koran pengumuman penerimaan SPMB beberapa tahun silam. Meskipun bukan pada pilihan yang pertama, setidaknya aku bersyukur bisa terdaftar menjadi salah satu mahasiswa di salah satu jurusan favorit di sebuah universitas negeri di kotaku: UNS- Sastra Inggris. Jurusan yang kuambil memang bukan jurusan rekomendasi Bapak Ibuku. Bahkan mereka sebenarnya menyarankanku untuk mendaftar jurusan kependidikan saja. Pertimbangan kedua orangtuaku tersebut cukup tak beralasan dan mudah dipatahkan. Mereka merekomendasikan fakultas keguruan karena trah keluarga besarku notabene keluarga yang berdarah kependidikan. Maksudnya, dari keturunan simbah kakung-putri, mulai anak-anak serta menantu hingga cucu-cucu, hampir semuanya adalah tenaga pengajar semua, komplit dari yang guru TK, sampai Dosen, tak terkecuali ibunda dan bapakku adalah guru semua. Mulia bukan? Ya, sangat mulia dan membanggakan, karena dengan menjadi tenaga pengajar, otomatis kita mendapat dua berkah sekaligus, ibarat sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Mengapa bisa begitu? Karena menjadi tenaga pengajar itu selain mendapat gaji yang tetap (bahkan sekarang progresif), juga mendapat pahala yang tak pernah putus. Masih ingat kan, pelajaran agama, bahwa orang mati akan meninggalkan segala hal kecuali 3 amalan, yaitu, amalan doa anak sholeh, amalan jariyah, dan ilmu yang bermanfaat. Bila jadi tenaga pengajar, bukankah ilmu yang kita tularkan menjadi amalan yang tak pernah putus? Subhanallah. Allahu'alam bi shawab.
Namun, bukan aku kalau tidak ngeyelan. Tanpa mengingkari penjelasan mengenai amalan ilmu yang bermanfaat, kupikir semua orang bisa menjadi tenaga pengajar alias guru, tanpa perlu mengambil jurusan dengan spesifikasi kependidikan, dengan begitu kupikir akan lebih flexible jika aku memilih jurusan non kependidikan saja. Sehingga dengan segala pertimbangan yang diliputi konsekuensi aku tak menghiraukan rekomendasi Bapak Ibuku. Jangan dikira aku cuma awut-awutan nulis pilihan jurusan, meskipun aku anak pertama, dan kedua orangtuaku adalah orangtua yang memberi kebebasan penuh pada anaknya, tapi aku bertindak selalu dengan pertimbangan dan tentu saja tanggungjawab. Sejak dulu aku sangat terobsesi bisa abroad, entah urusan pendidikan atau pekerjaan, atau sekedar liburan. How Cool!!. Maka dari itu, kedua pilihan jurusanku pun kubuat yang mendekati dan memberi peluang mewujudkan obsesiku tersebut. Ujungnya, kala itu aku menulis Sastra Inggris UNS sebagai pilihan kedua setelah Ilmu Hubungan Internasional UGM.
Rupanya Alloh tidak memberiku kesempatan untuk bisa belajar di Kota Pelajar Jogjakarta, mungkin karena pertimbangan biaya serta jarak ya, sehingga Alloh memberiku kesempatan untuk kuliah di lokal Solo saja, tanpa perlu biaya kost, tanpa perlu jauh dari keluarga. Hm, Alhamdulillah.
Kini, setelah menempuh delapan semester, Alloh tetap memberikanku pelajaran- pelajaran manis dan berharga. Apalagi kalau bukan perkara kelulusan. Bukan masalah besar sebenarnya bila aku terpaksa harus mengambil semester sembilan guna melengkapi syarat kelulusanku. Namun, tampaknya beberapa orang terdekat menganggap hal ini sebagai masalah yang mengkhawatirkan. Hal itu kurasakan karena terkadang motivasi yang mereka berikan, sindiran yang mereka luncurkan, serta hujan pertanyaan mereka kepadaku mengenai kelulusanku itu sudah melampaui batas... bukannya aku terganggu dengan pertanyaan atau sindiran atau motivasi yang mereka berikan, hanya saja aku merasa cukup tertekan dengan semua itu. Semoga aku masih bisa berpikiran positif sehingga masih bisa mengucapkan terimakasih yang tulus kepada mereka karena sudah bertanya tentang kelulusanku, kuanggap semuanya wujud dari perhatian mereka padaku.
Sedikit ingin berbagi saja, dan ingin memberitahukan bahwa akupun sudah berikhtiar dalam hal penyelesaian skripsi yang merupakan syarat mutlak kelulusan. Namun, ada saja yang kurang, tampaknya ini bukan lagi kesalahan personal, mahasiswa sastra inggris lain hampir kesemuanya mengalami nasib serupa denganku. Ini kesalahan sistem dan harusnya segera dirombak. Mulai dari skripsi yang baru boleh diambil setelah semester delapan, sampai perkara dosen yang cukup sulit ditemui karena sebagian besar dari beliau itu sibuknya minta ampun serta idealis sekali pemikirannya. Bayangkan saja jika semester delapan mahasiswa sastra inggris baru bisa mengambil skripsi, padahal pengumuman pembimbing belum dibuat, dengan begitu, dengan siapa kami mengkonsultasikan judul dan ide skripsi yang akan kami tulis, wahai Bapak Ketua Jurusan Sastra Inggris? Untuk hal idealisme, memang tidak bisa dipungkiri, semua dosen Sastra Inggris adalah lulusan dari universitas luar negeri, bahkan ada sebagian dari mereka yang sampai sekarang masih kuliah luar negeri sambil dilajo, alias terbang sana sini untuk menyelesaikan doktoralnya. Ajiiib kan? Bisa dibayangkan betapa idealisme serta mobile-nya beliau itu mutlak sangat mengganggu ide penyusunan skripsi kami para mahasiswa sastra inggris.
Kata orang, pembimbing sangat berperan dalam nasib kelulusan.
Nasib teman saya, ada yang pembimbingnya meninggalkannya sampai dua bulan, tiga bulan, bahkan berlama lama di di negara tetangga untuk mengejar beasiswanya. Sampai pas balik lagi ke Indo, beliau lupa sama draft skripsi yang dulunya sudah diaccept, akhirnya teman-teman saya itu harus kelabakan cari ide baru yang kata beliau harus up to date. Ow ow ow. Am sorry to hear that, pals :(
Beda lagi bagi mereka yang mempunyai pembimbing dengan tingkat sensitivitas tinggi, bahkan untuk telepon aja tidak bisa langsung bicara, melainkan harus meninggalkan pesan kepada istrinya atau mailbox atau inboxnya. Dan malangnya, nampaknya pesan- pesan teman-temanku tidak sampai tujuan sehingga teman-temanku harus menunggu pertemuan tanpa kepastian... ditunggu di depan kantorpun, beliau acuh. sungguh kesiaan kamu, bebs :(
Aku sih cukup beruntung yah, punya pembimbing yang doktoralnya cukup di Malaysia, jadi meskipun ditinggalin terbang sana sini terus, paling tidak frekuensinya bisa kuperkirakan, paling yaa sekitar 3 minggu per bulan lah. Masih bisa ketemu sebulan sekali kalau beliau tidak absen karena masih jetlag. Dan tentunya sangat beruntung karena beliau tidak terus-terusan mencacat ide skripsi saya. Dulu sih dua kali sempat dapat ignorance karena beliau menganggap sistem pengumpulan data yang kuusulkan melalui Discourse Completion Test kurang valid, sehingga yaa, aku harus bikin lagi ide baru, yang kedua beliau menganggap ideku too broaden, jadi harus dipersempit, dan akhirnya scope skripsiku sekarang lebih simple dari sebelumnya. Wuuu... kereeen Bapak dosenku yang satu ini :)
Alhasil, karena kendala pada sistem seperti uraian diatas, tertulislah di buku- buku kenangan wisuda bahwa average kelulusan sarjana sastra dan seni rupa UNS adalah yang paling lama, yaitu rata-rata 5 tahun 5 bulan dengan average IPK kelulusan hanya 3,11. Kalau tidak percaya, pinjam kenalan, atau buka buku kenangan wisudamu, lalu lihat dan bandingkan angka average kelulusan sarjana sastra dengan sarjana lain, ambil contoh di fakultas ekonomi, average kelulusan hanya 3 tahun 11 bulan dengan average IPK 3, 24 berdasarkan buku kenangan wisuda UNS periode I tanggal 2 September 2010. Check it out! Ayoo kalian para mahasiswa ekonomi dan fakultas lainnya, kalian bisa lebih mudah mengejar impian kalian lulus cepat dan cumlaude, karena sistem pendidikan di fakultas kalian sangat bersahabat sehingga peluang kalian lebih besar!
Kini, aku sendiri sudah menginjak semester sembilan dan masih berkutat dengan perbaikan skripsi dan persiapan mental untuk pendadaran beberapa bulan mendatang, targetku sih mundur lagi karena bapak dosen sedang sibuk akhir- akhir ini. Namun hal ini bukan masalah lagi bagiku, yang penting aku sudah ikhtiar dan menjalankannya sesuai prosedur. Banyak yang off plan sih, sehingga resikopun harus diambil, apalagi seorang mahasiswa normal kan kuliahnya cuma delapan semester. Maka dari itu, sesuai perjanjian dengan orang tua, dan menggenapi konsekuensi di awal, mulai harus lepas biaya kuliah berikut biaya akomodasinya. Okedeh, aku tanggung jawab dengan pilihanku, semester sembilan aku mulai membayar sendiri biaya kuliah berikut biaya pembuatan skripsi, serta biaya akomodasi. Cara mendapatkannya? Yaa, aku harus putar otak agar rupiah bisa mengalir ke rekening. Alhamdulillah (lagi) aku termasuk beruntung dapat beasiswa, jadi biaya kuliah tak jadi masalah, tapi untuk biaya akomodasi yaa, tanpa ijazah sarjana, aku tetap berusaha mengasah kemampuan survival. Tetap mencobai berbagai bisnis yang tampaknya menarik dan mempunyai peluang. Jelita adalah cikal bakal bisnis yang kutekuni, sekitar empat tahun silam aku mulai menggunakan nama cantik tersebut sebagai label setiap usaha kecilku, Jelita Rent Comp, Jelita Cell, Jelita Collection, Jelita Shopinline, dan yang terakhir dalam proses adalah Jelita Accesories. Tampaknya ini nilai besar dan berharga yang bisa kupetik dari keputusan Alloh mengantarkanku pada setiap detik hidupku hingga sekarang ini, detik perjuanganku untuk menjadi maju, mandiri, dan patuh dengan konsekuensi :)
Alhamdulillah masih bisa survive. Thanks God :)
Bagi kalian yang sedang dalam proses mengerjakan skripsi, jadikan tulisan ini menjadi motivasi untuk terus berusaha menulis dengan baik. Atau setidaknya tulisan ini akan menjadi jawaban sekaligus penjelasan mengapa sampai sekarang aku agak 'ketinggalan' dalam hal kelulusan dibandingkan dengan beberapa teman DARI FAKULTAS SELAIN SASTRA INGGRIS. Aku memang sengaja mempertebal tulisan tersebut, karena selanjutnya aku akan berbicara berdasarkan konteks situasi dan kondisi.
Sampai sekarang, aku selalu bersyukur bahwa aku termasuk orang yang beruntung namaku terpampang di deretan yang diterima menjadi mahasiswa di koran pengumuman penerimaan SPMB beberapa tahun silam. Meskipun bukan pada pilihan yang pertama, setidaknya aku bersyukur bisa terdaftar menjadi salah satu mahasiswa di salah satu jurusan favorit di sebuah universitas negeri di kotaku: UNS- Sastra Inggris. Jurusan yang kuambil memang bukan jurusan rekomendasi Bapak Ibuku. Bahkan mereka sebenarnya menyarankanku untuk mendaftar jurusan kependidikan saja. Pertimbangan kedua orangtuaku tersebut cukup tak beralasan dan mudah dipatahkan. Mereka merekomendasikan fakultas keguruan karena trah keluarga besarku notabene keluarga yang berdarah kependidikan. Maksudnya, dari keturunan simbah kakung-putri, mulai anak-anak serta menantu hingga cucu-cucu, hampir semuanya adalah tenaga pengajar semua, komplit dari yang guru TK, sampai Dosen, tak terkecuali ibunda dan bapakku adalah guru semua. Mulia bukan? Ya, sangat mulia dan membanggakan, karena dengan menjadi tenaga pengajar, otomatis kita mendapat dua berkah sekaligus, ibarat sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Mengapa bisa begitu? Karena menjadi tenaga pengajar itu selain mendapat gaji yang tetap (bahkan sekarang progresif), juga mendapat pahala yang tak pernah putus. Masih ingat kan, pelajaran agama, bahwa orang mati akan meninggalkan segala hal kecuali 3 amalan, yaitu, amalan doa anak sholeh, amalan jariyah, dan ilmu yang bermanfaat. Bila jadi tenaga pengajar, bukankah ilmu yang kita tularkan menjadi amalan yang tak pernah putus? Subhanallah. Allahu'alam bi shawab.
Namun, bukan aku kalau tidak ngeyelan. Tanpa mengingkari penjelasan mengenai amalan ilmu yang bermanfaat, kupikir semua orang bisa menjadi tenaga pengajar alias guru, tanpa perlu mengambil jurusan dengan spesifikasi kependidikan, dengan begitu kupikir akan lebih flexible jika aku memilih jurusan non kependidikan saja. Sehingga dengan segala pertimbangan yang diliputi konsekuensi aku tak menghiraukan rekomendasi Bapak Ibuku. Jangan dikira aku cuma awut-awutan nulis pilihan jurusan, meskipun aku anak pertama, dan kedua orangtuaku adalah orangtua yang memberi kebebasan penuh pada anaknya, tapi aku bertindak selalu dengan pertimbangan dan tentu saja tanggungjawab. Sejak dulu aku sangat terobsesi bisa abroad, entah urusan pendidikan atau pekerjaan, atau sekedar liburan. How Cool!!. Maka dari itu, kedua pilihan jurusanku pun kubuat yang mendekati dan memberi peluang mewujudkan obsesiku tersebut. Ujungnya, kala itu aku menulis Sastra Inggris UNS sebagai pilihan kedua setelah Ilmu Hubungan Internasional UGM.
Rupanya Alloh tidak memberiku kesempatan untuk bisa belajar di Kota Pelajar Jogjakarta, mungkin karena pertimbangan biaya serta jarak ya, sehingga Alloh memberiku kesempatan untuk kuliah di lokal Solo saja, tanpa perlu biaya kost, tanpa perlu jauh dari keluarga. Hm, Alhamdulillah.
Kini, setelah menempuh delapan semester, Alloh tetap memberikanku pelajaran- pelajaran manis dan berharga. Apalagi kalau bukan perkara kelulusan. Bukan masalah besar sebenarnya bila aku terpaksa harus mengambil semester sembilan guna melengkapi syarat kelulusanku. Namun, tampaknya beberapa orang terdekat menganggap hal ini sebagai masalah yang mengkhawatirkan. Hal itu kurasakan karena terkadang motivasi yang mereka berikan, sindiran yang mereka luncurkan, serta hujan pertanyaan mereka kepadaku mengenai kelulusanku itu sudah melampaui batas... bukannya aku terganggu dengan pertanyaan atau sindiran atau motivasi yang mereka berikan, hanya saja aku merasa cukup tertekan dengan semua itu. Semoga aku masih bisa berpikiran positif sehingga masih bisa mengucapkan terimakasih yang tulus kepada mereka karena sudah bertanya tentang kelulusanku, kuanggap semuanya wujud dari perhatian mereka padaku.
Sedikit ingin berbagi saja, dan ingin memberitahukan bahwa akupun sudah berikhtiar dalam hal penyelesaian skripsi yang merupakan syarat mutlak kelulusan. Namun, ada saja yang kurang, tampaknya ini bukan lagi kesalahan personal, mahasiswa sastra inggris lain hampir kesemuanya mengalami nasib serupa denganku. Ini kesalahan sistem dan harusnya segera dirombak. Mulai dari skripsi yang baru boleh diambil setelah semester delapan, sampai perkara dosen yang cukup sulit ditemui karena sebagian besar dari beliau itu sibuknya minta ampun serta idealis sekali pemikirannya. Bayangkan saja jika semester delapan mahasiswa sastra inggris baru bisa mengambil skripsi, padahal pengumuman pembimbing belum dibuat, dengan begitu, dengan siapa kami mengkonsultasikan judul dan ide skripsi yang akan kami tulis, wahai Bapak Ketua Jurusan Sastra Inggris? Untuk hal idealisme, memang tidak bisa dipungkiri, semua dosen Sastra Inggris adalah lulusan dari universitas luar negeri, bahkan ada sebagian dari mereka yang sampai sekarang masih kuliah luar negeri sambil dilajo, alias terbang sana sini untuk menyelesaikan doktoralnya. Ajiiib kan? Bisa dibayangkan betapa idealisme serta mobile-nya beliau itu mutlak sangat mengganggu ide penyusunan skripsi kami para mahasiswa sastra inggris.
Kata orang, pembimbing sangat berperan dalam nasib kelulusan.
Nasib teman saya, ada yang pembimbingnya meninggalkannya sampai dua bulan, tiga bulan, bahkan berlama lama di di negara tetangga untuk mengejar beasiswanya. Sampai pas balik lagi ke Indo, beliau lupa sama draft skripsi yang dulunya sudah diaccept, akhirnya teman-teman saya itu harus kelabakan cari ide baru yang kata beliau harus up to date. Ow ow ow. Am sorry to hear that, pals :(
Beda lagi bagi mereka yang mempunyai pembimbing dengan tingkat sensitivitas tinggi, bahkan untuk telepon aja tidak bisa langsung bicara, melainkan harus meninggalkan pesan kepada istrinya atau mailbox atau inboxnya. Dan malangnya, nampaknya pesan- pesan teman-temanku tidak sampai tujuan sehingga teman-temanku harus menunggu pertemuan tanpa kepastian... ditunggu di depan kantorpun, beliau acuh. sungguh kesiaan kamu, bebs :(
Aku sih cukup beruntung yah, punya pembimbing yang doktoralnya cukup di Malaysia, jadi meskipun ditinggalin terbang sana sini terus, paling tidak frekuensinya bisa kuperkirakan, paling yaa sekitar 3 minggu per bulan lah. Masih bisa ketemu sebulan sekali kalau beliau tidak absen karena masih jetlag. Dan tentunya sangat beruntung karena beliau tidak terus-terusan mencacat ide skripsi saya. Dulu sih dua kali sempat dapat ignorance karena beliau menganggap sistem pengumpulan data yang kuusulkan melalui Discourse Completion Test kurang valid, sehingga yaa, aku harus bikin lagi ide baru, yang kedua beliau menganggap ideku too broaden, jadi harus dipersempit, dan akhirnya scope skripsiku sekarang lebih simple dari sebelumnya. Wuuu... kereeen Bapak dosenku yang satu ini :)
Alhasil, karena kendala pada sistem seperti uraian diatas, tertulislah di buku- buku kenangan wisuda bahwa average kelulusan sarjana sastra dan seni rupa UNS adalah yang paling lama, yaitu rata-rata 5 tahun 5 bulan dengan average IPK kelulusan hanya 3,11. Kalau tidak percaya, pinjam kenalan, atau buka buku kenangan wisudamu, lalu lihat dan bandingkan angka average kelulusan sarjana sastra dengan sarjana lain, ambil contoh di fakultas ekonomi, average kelulusan hanya 3 tahun 11 bulan dengan average IPK 3, 24 berdasarkan buku kenangan wisuda UNS periode I tanggal 2 September 2010. Check it out! Ayoo kalian para mahasiswa ekonomi dan fakultas lainnya, kalian bisa lebih mudah mengejar impian kalian lulus cepat dan cumlaude, karena sistem pendidikan di fakultas kalian sangat bersahabat sehingga peluang kalian lebih besar!
Kini, aku sendiri sudah menginjak semester sembilan dan masih berkutat dengan perbaikan skripsi dan persiapan mental untuk pendadaran beberapa bulan mendatang, targetku sih mundur lagi karena bapak dosen sedang sibuk akhir- akhir ini. Namun hal ini bukan masalah lagi bagiku, yang penting aku sudah ikhtiar dan menjalankannya sesuai prosedur. Banyak yang off plan sih, sehingga resikopun harus diambil, apalagi seorang mahasiswa normal kan kuliahnya cuma delapan semester. Maka dari itu, sesuai perjanjian dengan orang tua, dan menggenapi konsekuensi di awal, mulai harus lepas biaya kuliah berikut biaya akomodasinya. Okedeh, aku tanggung jawab dengan pilihanku, semester sembilan aku mulai membayar sendiri biaya kuliah berikut biaya pembuatan skripsi, serta biaya akomodasi. Cara mendapatkannya? Yaa, aku harus putar otak agar rupiah bisa mengalir ke rekening. Alhamdulillah (lagi) aku termasuk beruntung dapat beasiswa, jadi biaya kuliah tak jadi masalah, tapi untuk biaya akomodasi yaa, tanpa ijazah sarjana, aku tetap berusaha mengasah kemampuan survival. Tetap mencobai berbagai bisnis yang tampaknya menarik dan mempunyai peluang. Jelita adalah cikal bakal bisnis yang kutekuni, sekitar empat tahun silam aku mulai menggunakan nama cantik tersebut sebagai label setiap usaha kecilku, Jelita Rent Comp, Jelita Cell, Jelita Collection, Jelita Shopinline, dan yang terakhir dalam proses adalah Jelita Accesories. Tampaknya ini nilai besar dan berharga yang bisa kupetik dari keputusan Alloh mengantarkanku pada setiap detik hidupku hingga sekarang ini, detik perjuanganku untuk menjadi maju, mandiri, dan patuh dengan konsekuensi :)
Alhamdulillah masih bisa survive. Thanks God :)
Life is what you make it !
This is my life. So enjoy this way!
This is my life. So enjoy this way!
2 comments:
everything happens gor a reason dear :)
keep fighting and good luck for your business
Thanks ya, dew..
suka stressed aja sama motivasi-motivasi mereka :(
amin ya robbal alamin :)
Post a Comment