16.9.10

Antara Aku dan Sandra (Sebuah Cerita Bersambung)


Antara Aku dan Sandra

“Setelah lulus, aku akan mengambil kuliah lanjutan di luar negeri…” begitu ucapnya tadi siang. Aku hanya mengangguk ketika ia mengucapkan keinginannya itu. Sungguh bukanlah sebuah impian tinggi bagi seorang Sandra untuk bisa mewujudkan keinginannya yang bagiku serasa mustahil itu. Sandra anak orang kaya, bapaknya pejabat tinggi di kota metropolitan sana, ibunya juga bukan sembarang ibu rumah tangga, beliau dari keturunan orang berada. Tak heran jika Sandra, teman dekatku itu, dari kecil sampai sekarang tumbuh sebagai si kaya tanpa cela. Di Solo ini, Sandra tinggal bersama neneknya, ia tak tinggal dengan orangtuanya di Jakarta karena ia lebih memilih hidup tenang di kota kecil yang damai seperti disini. Malam ini entah sudah berapa kali terlintas dipikiranku tentang Sandra dan kenikmatan hidupnya.
“Ah, andai saja aku juga terlahir dari keluarga kaya raya, pasti aku juga bisa dengan enteng bicara kuliah lanjutan diluar negeri,” gumamku  dalam hati, sambil menelusupkan jarum jahit pada kain flannel berpola yang kupegang. Minggu ini pesanan hiasan dari flannel sedang ramai, hingga belakangan aku kerap terpaksa tidak tidur untuk menyelesaikan pesanan. Meski yang terkumpul dari penjualan hiasan flannel itu masih uang kecil, tapi lumayan bisa menutup biaya kebutuhan hidup sehari- hari.
Beda dengan Sandra, aku memang terlahir dari keluarga yang diliputi kesederhanaan. Bahkan untuk urusan pendidikan, sampai detik ini Bapakku belum sempat menamatkan pendidikan S1 nya. Bisa dibilang sebuah keberuntungan karena dua puluh lima tahun silam beliau terjaring sebagai siswa teladan di sekolah kejuruan hingga kemudian mengantarkan beliau masuk sebagai salah satu tenaga pengajar berstatus Pegawai Negeri Sipil. Sementara ibuku sedikit lebih beruntung karena pada akhirnya dua tahun yang lalu beliau bisa menamatkan pendidikan kesarjanaannya. Aku tentu saja bangga, meski ibu meraih titel SP.d pada usia yang sudah kepala empat, tapi beliau masih bersemangat. Sama dengan Bapakku, Ibu pun juga sudah sejak dua puluh tiga tahun yang lalu terdaftar sebagai tenaga pengajar berstatus Pegawai Negeri Sipil. Yah, itulah kedua orangtuaku, bagi mereka, usia bukanlah halangan bagi siapapun yang ingin meraih cita-cita mulia. Pelajaran itu pula yang membuatku tetap survive sampai detik ini. Detik perjuanganku meraih gelar sarjana diusia muda. Meskipun banyak halangan dan kendala, tapi aku masih berharap bisa lulus sebelum tahun ini berganti.
Bukan hal yang baru bagi mahasiswa Sastra terutama Sastra Inggris, bahwa sistem kependidikan dan kelulusan di jurusan bersifat ekstrim dan berbeda dengan jurusan lainnya. Baik sistem perolehan nilai indeks prestasi maupun rata- rata lama studi, keduanya sama sulitnya. Bagiku, ini awalnya cukup menyiksa, mengingat banyak kawan dari jurusan lain sudah berkesempatan memakai toga di acara pengukuhan wisuda sarjana, sementara aku masih tertatih mengerjakan skripsi yang berulang kali harus revisi dan berulangkali pula harus nganggur karena ditinggal pembimbing kabur ke negeri tetangga. Namun itu dulu, sekarang aku dan semua teman jurusanku sudah hafal dengan keadaan dan kurasa cukup bisa legawa menerima kenyataan. Kalaupun masih saja ada yang menyindir dengan maksud memberi motivasi tapi melampaui batas, semuanya akan disimpan sebagai ungkapan perhatian saja. Ah, yang penting kan aku dan teman- teman seperjuangan di jurusan sudah mengerjakan sesuai prosedur jurusan.
Yah, beginilah aku, setiap kali bicara tentang kelulusan, setiap kali itu pula aku merasa perlu menjelaskan bahwa aku sudah melakukan apa yang dilakukan oleh mahasiswa yang ingin mempercepat waktu mendapatkan gelar kesarjanaan. Kalaupun banyak yang kecewa atau mencela karena keterlambatan yang memang sudah mentradisi di jurusanku ini, aku akan sangat paham.
Pikiranku kembali lagi menghadirkan Sandra dan kehidupannya. Beruntung benar ya, dia dulu masuk universitas ini lewat jalur swadana dan diterima di jurusan yang lumayan mudah prosedur kependidikannya. Mungkin juga predikat bapaknya yang pejabat itu memberi semacam ide atau inspirasi baginya memilih masuk jurusan Hukum. Ah, yang jelas pilihan Sandra kala itu adalah pilihan yang sangat tepat. Sama sepertiku, pilihanku mengambil kuliah di jurusan Sastra Inggris adalah pilihan yang beralasan dan aku mempercayai sebagai pilihan paling benar.
Aku dan Sandra sudah berkawan sejak SMP. Sandra seorang sahabat yang baik bagiku. Semua yang ada didirinya itu dambaan setiap gadis remaja, cantik yang natural, kulit yang putih bersih, rambut yang indah terawat, tubuh yang sintal semampai, serta senyumnya yang murah dan manis, aku berani menjamin siapapun yang melihat sahabatku itu pasti terpana. Meskipun ia dari kalangan orang atas, tapi tak pernah kutemukan sedikitpun bakat congkak di dirinya. Kalaupun ia pernah mengatakan cita-cita dan keinginan yang terlampau tinggi bagiku, tapi aku tak melihatnya sebagai sikap sombong, ia manusia normal yang mempunyai hak merencanakan masa depan sebaik mungkin layaknya orang kebanyakan.
Siang tadi memang aku dan ia janjian bertemu di sebuah warung makan sederhana favorit kita sejak SMA. Seperti sudah tidak bertemu dalam waktu yang lama, sehingga kami pun saling berbagi cerita hingga menyinggung cita- cita. Aku tak menyalahkan Sandra yang berbangga hati mengatakan Desember nanti dirinya sudah mendapat jatah kursi wisuda. Meskipun kala itu ia tak beruntung masuk universitas melalui jalur SPMB hingga terpaksa masuk melalui jalur swadana, itu bukan berarti ia tak pintar. Sebaliknya, ia sangat cerdas dan kukira bukan perkara yang sulit baginya meraih gelar sarjana secepat itu. Apalagi kudengar indeks prestasi komulatif kelulusannya mencapai rentang predikat cumlaude atau dengan pujian. Lengkap sudah bahagia dalam hidup seorang Sandra dimataku, termasuk cita- citanya mengambil kuliah lanjutan di negara tetangga itu.
Malam ini, dengan dibantu ibu, aku menyelesaikan hampir sepuluh hiasan flannel berbentuk boneka wisuda. Pekan depan memang ada wisuda periode pertama bulan September. Cukup menyenangkan mendapatkan pesanan cukup banyak dalam waktu seminggu ini, tapi juga menyedihkan karena boneka – boneka itu seakan mengingatkan perjuanganku mengejar wisuda. Ya sudahlah, semoga esok hari Dosen pembimbingku sedikit bersahabat denganku sehingga berkenan mempermudah jalanku untuk segera mewujudkan kelulusan yang didamba olehku dan semua orang yang menyayangiku itu.
Diam- diam aku mencuri pandang ke arah wajah lelah ibuku. Ia salah satu yang rasa sayangnya padaku tak pernah kuingkari. Wanita yang warna hitam pada rambutnya sudah pudar dan memutih itu tampak sangat letih malam ini. Namun jarinya masih cekatan menelusupkan jarum pada pinggiran kain flannel berpola. Ibuku memang luar biasa, meski hidup terasa semakin berat karena harga bahan kebutuhan yang selalu meningkat, tampaknya semangatnya masih berlipat. Tiada keluh kesah yang diucapkan, hanya senyum indah yang selalu bisa menghadirkan ketenangan. Aku sangat beruntung mempunyai ibu seperti beliau, meski bukan seorang ibu rumah tangga yang bisa mengawasi buah hatinya secara ekstra, tapi perhatiannya berkualitas luar biasa.
Sandra sering mampir kerumahku yang sederhana ini, ia bahkan sudah sangat akrab dengan keluargaku, dengan adik, bapak, dan ibuku. Sehingga apabila ada cerita tentang Sandra, mereka bisa mengikuti bahkan terkadang ikut menimpali. Namun malam ini aku tak bercerita banyak tentang pertemuanku dengan Sandra. Yah, aku tak ingin melihat ibu dan Bapak semakin berat berpikir tentang kesenjangan sosial yang semakin nampak diantara aku dan Sandra. Ibu hanya berpesan agar tetap berkomunikasi dengan Sandra meskipun kami sudah berbeda jurusan, lebih lanjut beliau berpesan agar kami tetap bersahabat meskipun nantinya jarak memisahkan kami karena pekerjaan. Aku diam saja dan mengangguk tanda setuju. Dalam hati aku berjanji, semua pesan ibu akan kuturuti. Sandra akan selalu menjadi sahabat baikku selamanya, meskipun diantara kami ada jenjang yang tak nampak. Pada ibu aku berucap, jika suatu saat jarak memisahkanku dengan Sandra, itu bukan hati kami yang akan merasa tetap dekat dan lekat. Lalu ibu tersenyum, sangat lega dan menenangkan.   





0 comments:

Post a Comment