“Alloh tidak pernah tidur, sayang”, ucapmu malam itu dari ujung seberang sambungan telepon tanpa kabel. Sementara disini, aku meringkuk bak si punguk yang merindukan rembulanku muncul dengan purnamanya, namun gagal. Dan aku benci harus terisak menangisi nasib yang seakan terus menerus tak berpihak padaku.
Sementara jemari tanganku sibuk menyeka air mata yang mengalir deras di pipiku, aku masih mendengarkan kau melanjutkan suaramu.
“Kamu sudah solat?”, tanyamu, mungkin berusaha mengubah arah pembicaraan malam itu. Namun aku tetap terisak, hingga aku merasa sepertinya tenggorokanku mulai tercekat.
“Hm, sayang, tak ada gunanya menangisi semua masalah dalam hidup, apalagi masalah seperti ini. Stop crying, ling…aku tahu kamu adalah gadis tegar yang selalu berhasil mencuri perhatianku seperti hari- hari yang lalu…”, kau lanjutkan kata- katamu lagi, tapi dengan menyisipkan sedikit komplimen, atau rayuan, ah entahlah. Ya, itu pasti dirimu, kau yang selalu berbicara dengan menyisipkan kosakata penyejuk hati. Tapi aku heran, kala itu untuk putaran pertama, jurusmu bisa dikatakan tak sempurna, buktinya aku benar- benar tak bisa menghentikan arus kristal bening yang meleleh dari mataku.
“Sudah, sayang, kamu sholat ya.. tangisanmu sudah cukup membuatku mengerti apa yang sedang terjadi padamu”, kau masih saja berjibaku dengan ucapan manismu, mencoba menenangkan.
Sebentar kemudian aku menarik napas yang panjang, lalu menghembuskannya pelan dari mulutku. Masih ada bulir- bulir yang menetes menganak di kedua pipiku, tapi aku berusaha membuka mulut.
“Han, kenapa ya, kenapa aku tidak bisa lulus sesuai waktu? Aku ingin segera lulus dan bekerja han…”, aku mengulangi keluhan yang kuutarakan sejak awal kita saling membuka saluran telepon. Napas yang tidak teratur membuat suaraku tersendat- sendat.
“Ling, kamu harus yakin, ini bukan halangan, justru ini tantangan. Ayo, buktikan bahwa tanpa ijazah sarjana pun kamu sudah bisa mapan dan tak menyusahkan. You don’t need to worry, dear… bukankah kamu sudah membuktikannya sejak dulu…kamu bisa survive tanpa ijazah kesarjanaan yang sedang dalam perjuangan…”, kau sebentar saja berhenti berucap, lalu melanjutkan,
“Sekarang kamu tidak sedang menganggur, masih ada banyak tugas yang harus kamu kerjakan, bukan menangis, ling.. menangis tak akan menyelesaikan masalah. Menangis malam ini, tak berarti esok pagi kamu bisa antri menjejalkan formulir permohonan wisuda, kan?”.
Lalu kamu diam, diam yang sedikit agak panjang, tapi tak memberi kesempatan padaku untuk menyela.
“Kau tahu, tugasmu malam ini bukan menangis karena dosenmu belum pulang dari Negeri Jiran, itu jelas bukan solusi yang BAIK. Tugasmu hanya bangkit, dan dirikanlah sholat. Berhajatlah… ijinkan Alloh mendengar curhatmu selain aku…”.
Dan sederet kata- kata itu adalah puncak petuahmu.
Kau kemudian menghentikan ucapanmu, memberi kepadaku waktu untuk berpikir kembali dan berbicara, mencoba menghilangkan kelu di lidah, menumpahkan kata- kata yang sedari tadi tertahan di balik bibir saja.
***
Ya. Dalam memoriku rapi tersimpan episode malam itu, kala aku benar- benar dalam kondisi terpuruk karena beberapa tekanan yang mempersempit jalan pikiranku. I was dropped! And it was my lowest point…
Sedikit mengingatkan, kala itu aku langsung memutuskan untuk menunda percakapan kita. Aku memintamu menutup telepon karena aku ingin segera menjalankan tugasku selanjutnya, yang pasti berhenti menangis, berwudhu dan mendirikan rekaat salat hajat.
Meskipun ucapanmu sangat panjang, tapi penyampaianmu yang lembut itu berhasil membuka pikiranku yang sempat menyempit. Tidak munafik, ucapanmu malam itu benar- benar membuatku merasa nyaman, bahkan tanpa sadar kau mengembalikan kepercayaan diriku. Kau mengingatkan bahwa tugas utama kita sebagai manusia adalah berikhtiar, berdoa, dan bersabar. Ya, nyaris tak ada tugas yang lain.
Malam itu, aku tidak tahu apa yang sedang kau lakukan selain menempelkan earphone di telingamu, mungkin kau sedang asyik bermain game Need For Speed terbaru, atau menonton tayangan komedi Opera Van Java favoritmu itu. Yang jelas, ucapanmu kala itu membuatku sangat sangat menyadari, bahwa aku adalah wanita beruntung yang diperkenankan bertemu denganmu. Kau yang selalu mengertiku bahkan disaat aku benar- benar tak mengerti siapa diriku. Kau juga yang lantang mengatakan aku mampu, meskipun aku sendiri merasa ragu. Kau - terima kasih atas angin sejuk yang selalu kau hembuskan kedalam kehidupanku…
#untuk mengingatmu: saat rindu seakan mengelus rambut yang tumbuh di kepalaku…
Tuesday, November 30, 2010 at 7:14am
IKHA OKTAVIANTI
2 comments:
wahduhhhhh, ,,
aq merasa berdosa nih...
ga enak jadinya, ,,
:)
hahahahaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
lha ngopo ra penak?
Post a Comment