Gambar dari sini : click! |
Kalimantan Selatan merupakan provinsi pertama yang kami singgahi ketika
kami mulai mengakrabi arti kata 'merantau'. Suami yang baru saja
merampungkan diklatnya di Bogor langsung saja dikirim oleh pihak
perusahaan ke Tanah Banua ini untuk menjalani On the Job Training.
Kegiatan dari perusahaan yang diperuntukkan bagi para calon pegawai baru
ini memang bersifat wajib dan mengikat. Berdasarkan time schedule yang
diterima, kegiatan prajabatan di Kalimantan Selatan akan berlangsung
lebih kurang 3 bulan. Tak pelak saya pun bertekad menyusul suami ke
pulau Borneo.
Jauh hari saya mulai mengagendakan rencana menyusul suami, sehingga beberapa hal menyangkut usaha souvenir saya di Solo segera saya selesaikan, termasuk membatasi jumlah pesanan serta mengadakan training untuk beberapa rekan maupun keluarga yang berniat untuk melanjutkan usaha di Jawa.
Hingga hari yang saya tentukan sebagai hari menyusul suami tiba juga. Berbagai persiapan berkenaan dengan kepindahan saya diatur sudah. Hingga setibanya di Pulau Borneo, tinggalah perasaan bahagia dan sukacita.
Awal mula saya injakkan kaki di Kalimantan sungguh di luar dugaan, banyak image yang tergambar di benak saya meleset jauh dari fakta di hadapan mata. Pulau yang dalam pikiran saya terdiri dari hutan yang lebat ternyata salah besar. Faktanya, justru banyak hamparan ladang sakit yang tergenang air gambut. Fakta lain adalah tentang masyarakatnya, sebelumnya saya gambarkan masyarakat Kalimantan yang terbelakang, tapi kenyataan yang ada justru sebagian dari mereka memiliki aset materi yang diluar dugaan, mobil mewah yang berlalu lalang di jalan raya serta logam mulia yang banyak dikenakan menjadi beberapa bukti.
Kebetulan dari pembagian kelompok prajabatan, suami ditugaskan di Kota Pelaihari. Banyak cerita yang menyusun hari- hari kami berdua di kota ini. Dari cerita ringan sehari- hari hingga cerita mengenai kearifan masyarakat lokal, semua menjadi kumpulan cerita yang menarik untuk diceritakan.
Meskipun belum sepenuhnya pas bila disebut kota, tapi sebagian besar wilayah Pelaihari jelas bukan pedalaman lagi. Pelaihari adalah kecamatan yang juga merupakan ibukota pusat pemerintahan kabupaten Tanah Laut.
Seperti yang ditunjukkan dalam peta, wilayah Pelaihari berada di paling ujung selatan dari Propinsi Kalimantan Selatan. Dengan jalur transportasi yang cukup bagus dan jalan yang nyaris tanpa belokan, untuk menuju kota ini dibutuhkan waktu sekitar 1 jam dari Syamsudin Noor Airport. Di sepanjang jalan menuju kota kecil ini, kita disuguhi hamparan kebun sawit yang dibudidayakan.
Meskipun merupakan pusat pemerintahan kabupaten, tapi Pelaihari cenderung sepi. Hiburan yang ada disini hanya hiburan tradisional seperti pasar dan alun-alun, di kedua tempat itulah kami berdua banyak menghabiskan waktu selain di bidakan.
Oya, disini rumah kontrak sederhana disebut bidakan. Bidakan yang kami tinggali lumayan luas dan nyaman, berada di sebelah masjid besar Al Manaar di Jalan Al Manaar. Letaknya lumayan dekat dengan pasar jika lewat jalan shortcut (nyidat). Luasnya sekitar 4 x 9 meter, disekat menjadi 4 kamar ; kamar depan, kamar tengah, kamar paling belakang disekat menjadi kamar dapur dan kamar mandi. Disewakan dengan sistem kosongan, jadi penyewa harus mengisi sendiri semua perabotan yang dibutuhkan. Seperti kemarin, akhirnya kami membeli kasur sederhana dan majic com. Karena dari Solo saya sudah membawa bekal lauk kering yang lumayan banyak, akhirnya kami memutuskan untuk tidak membeli perabot dapur.
Setiap harinya, suamiku bekerja pada pukul 7:30 hingga pukul 17.00 WITA. Tapi, tak jarang pula ia harus lembur hingga malam, menyelesaikan pekerjaan yang deskripsinya tak jauh beda dengan pekerjaan di kantor sebelumnya. Penagihan pajak listrik, pemutusan aliran listrik, dan tentu saja menyelesaikan rekap kerja. Job deskripsi seperti tersebut jelas bertentangan dengan materi perkuliahan di jurusannya, namun semua dimaklumi karena memang kami percaya bahwa calon pemimpin yang unggul biasanya harus melewati tahap tempaan yang cukup berat.
Banyak cerita dari sang suami, cerita yang unik ketika harus terjun ke lapangan untuk berkarya. Diantaranya adalah kebiasaan warga masyarakat yang belum sadar pajak serta keterbatasan ekonomi, tunggakan pajak berbulan-bulan bahkan hingga satu tahun baru dilunasi. Atau, cerita menarik ketika harus menagih di daerah pedalaman Kurau, wilayah yang sangat terpencil dan terisolir, medan yang jauh dan sulit dilalui mobil, sehingga harus jalan kaki sepanjang hampir satu kilometer menuju rumah - rumah warga untuk menunaikan tugas.
Sementara saya sendiri, awal minggu pertama di Pelaihari saya gunakan untuk online, mengembangkan bisnis online dari bidakan atau sesekali jalan- jalan ke pasar, sambil sedikit demi sedikit mempelajari bahasa orang Banjar yang unik dan menarik. Agresif dan optimis, itu gambaran yang muncul ketika mendengarkan dialog orang Banjar yang bertempo cepat.
Bahasa Banjar yang masih eksis menunjukkan masih kokohnya Budaya Banjar. Hal tersebut membuat saya pribadi kagum mengingat fakta bahwa jumlah pendatang yang menetap di Banjar prosentasenya lebih besar daripada penduduk asli. Namun, uniknya justru penduduk pendatang sering merasa nyaman menggunakan Bahasa Banjar sebagai bahasa sehari-hari.
Singkatnya, meski baru seminggu pertama tinggal di Pelaihari, tapi kota ini sudah memikat hati kami. Kesederhanaan dan rasa nyaman yang disuguhkan menjadikan kami kerasan tinggal sementara di tanah rantau ini.
Jauh hari saya mulai mengagendakan rencana menyusul suami, sehingga beberapa hal menyangkut usaha souvenir saya di Solo segera saya selesaikan, termasuk membatasi jumlah pesanan serta mengadakan training untuk beberapa rekan maupun keluarga yang berniat untuk melanjutkan usaha di Jawa.
Hingga hari yang saya tentukan sebagai hari menyusul suami tiba juga. Berbagai persiapan berkenaan dengan kepindahan saya diatur sudah. Hingga setibanya di Pulau Borneo, tinggalah perasaan bahagia dan sukacita.
Awal mula saya injakkan kaki di Kalimantan sungguh di luar dugaan, banyak image yang tergambar di benak saya meleset jauh dari fakta di hadapan mata. Pulau yang dalam pikiran saya terdiri dari hutan yang lebat ternyata salah besar. Faktanya, justru banyak hamparan ladang sakit yang tergenang air gambut. Fakta lain adalah tentang masyarakatnya, sebelumnya saya gambarkan masyarakat Kalimantan yang terbelakang, tapi kenyataan yang ada justru sebagian dari mereka memiliki aset materi yang diluar dugaan, mobil mewah yang berlalu lalang di jalan raya serta logam mulia yang banyak dikenakan menjadi beberapa bukti.
Kebetulan dari pembagian kelompok prajabatan, suami ditugaskan di Kota Pelaihari. Banyak cerita yang menyusun hari- hari kami berdua di kota ini. Dari cerita ringan sehari- hari hingga cerita mengenai kearifan masyarakat lokal, semua menjadi kumpulan cerita yang menarik untuk diceritakan.
Meskipun belum sepenuhnya pas bila disebut kota, tapi sebagian besar wilayah Pelaihari jelas bukan pedalaman lagi. Pelaihari adalah kecamatan yang juga merupakan ibukota pusat pemerintahan kabupaten Tanah Laut.
Seperti yang ditunjukkan dalam peta, wilayah Pelaihari berada di paling ujung selatan dari Propinsi Kalimantan Selatan. Dengan jalur transportasi yang cukup bagus dan jalan yang nyaris tanpa belokan, untuk menuju kota ini dibutuhkan waktu sekitar 1 jam dari Syamsudin Noor Airport. Di sepanjang jalan menuju kota kecil ini, kita disuguhi hamparan kebun sawit yang dibudidayakan.
Meskipun merupakan pusat pemerintahan kabupaten, tapi Pelaihari cenderung sepi. Hiburan yang ada disini hanya hiburan tradisional seperti pasar dan alun-alun, di kedua tempat itulah kami berdua banyak menghabiskan waktu selain di bidakan.
Oya, disini rumah kontrak sederhana disebut bidakan. Bidakan yang kami tinggali lumayan luas dan nyaman, berada di sebelah masjid besar Al Manaar di Jalan Al Manaar. Letaknya lumayan dekat dengan pasar jika lewat jalan shortcut (nyidat). Luasnya sekitar 4 x 9 meter, disekat menjadi 4 kamar ; kamar depan, kamar tengah, kamar paling belakang disekat menjadi kamar dapur dan kamar mandi. Disewakan dengan sistem kosongan, jadi penyewa harus mengisi sendiri semua perabotan yang dibutuhkan. Seperti kemarin, akhirnya kami membeli kasur sederhana dan majic com. Karena dari Solo saya sudah membawa bekal lauk kering yang lumayan banyak, akhirnya kami memutuskan untuk tidak membeli perabot dapur.
Setiap harinya, suamiku bekerja pada pukul 7:30 hingga pukul 17.00 WITA. Tapi, tak jarang pula ia harus lembur hingga malam, menyelesaikan pekerjaan yang deskripsinya tak jauh beda dengan pekerjaan di kantor sebelumnya. Penagihan pajak listrik, pemutusan aliran listrik, dan tentu saja menyelesaikan rekap kerja. Job deskripsi seperti tersebut jelas bertentangan dengan materi perkuliahan di jurusannya, namun semua dimaklumi karena memang kami percaya bahwa calon pemimpin yang unggul biasanya harus melewati tahap tempaan yang cukup berat.
Banyak cerita dari sang suami, cerita yang unik ketika harus terjun ke lapangan untuk berkarya. Diantaranya adalah kebiasaan warga masyarakat yang belum sadar pajak serta keterbatasan ekonomi, tunggakan pajak berbulan-bulan bahkan hingga satu tahun baru dilunasi. Atau, cerita menarik ketika harus menagih di daerah pedalaman Kurau, wilayah yang sangat terpencil dan terisolir, medan yang jauh dan sulit dilalui mobil, sehingga harus jalan kaki sepanjang hampir satu kilometer menuju rumah - rumah warga untuk menunaikan tugas.
Sementara saya sendiri, awal minggu pertama di Pelaihari saya gunakan untuk online, mengembangkan bisnis online dari bidakan atau sesekali jalan- jalan ke pasar, sambil sedikit demi sedikit mempelajari bahasa orang Banjar yang unik dan menarik. Agresif dan optimis, itu gambaran yang muncul ketika mendengarkan dialog orang Banjar yang bertempo cepat.
Bahasa Banjar yang masih eksis menunjukkan masih kokohnya Budaya Banjar. Hal tersebut membuat saya pribadi kagum mengingat fakta bahwa jumlah pendatang yang menetap di Banjar prosentasenya lebih besar daripada penduduk asli. Namun, uniknya justru penduduk pendatang sering merasa nyaman menggunakan Bahasa Banjar sebagai bahasa sehari-hari.
Singkatnya, meski baru seminggu pertama tinggal di Pelaihari, tapi kota ini sudah memikat hati kami. Kesederhanaan dan rasa nyaman yang disuguhkan menjadikan kami kerasan tinggal sementara di tanah rantau ini.